HARIAN MERAPI - Mengungkap misteri 'Bende Penantang' zaman perang Diponegoro yang tersimpan di rumah Wardoyo warga Kretek Borobudur, ada surau dan kitab Al Quran yang ditulis tangan.
Pengadaan perangkat gamelan dan wayang kulit tersebut karena keinginan warga desa tersebut untuk melestarikan kesenian tradisional ini. Meski pun kini di desa ini tidak ada dalang wayang kulit.
Perkembangan kesenian tradisional di desa ini juga mengalami pasang surut.
Pada tahun 1950-an sampai 1970-an di sini pernah ada kelompok kesenian ketoprak dan wayang orang, meski sempat menurun kegiatannya.
Dulu di pendapa joglo rumah almarhum R. Sumodiwirjo setiap malam Selasa Kliwon digelar kesenian wayang orang.
Kemudian tahun 1980 -an sampai 1993 pernah ada paguyuban kesenian ketoprak. Sampai kini kegiatan kesenian di sini masih aktif latihan dengan memanfaatkan gamelan kuna tersebut.
Diantara perangkat gamelan yang disimpan di rumah joglo kuna itu ada yang ‘meminta perlakuan khusus’ yaitu sebuah gong beri atau gong besar.
Wardoyo, pewaris dan perawat benda-benda kuna itu menuturkan, setiap kali akan ditabuh untuk mengiringi pagelaran wayang kulit, gong besar atau gong beri harus ‘dikutugi’ asap kemenyan.
Kalau tidak, gong ini tidak akan berbunyi nyaring bila ditabuh. Bunyinya hanya “beb, beb” saja, suaranya tidak jemlegur (menggema).
Almarhum R. Sumodiwirjo juga memiliki sebilah keris pusaka yang bertuah. Ada salah seorang saudara Wardoyo yang menyepelekan keris itu.
Tetapi, ketika dia memegang, keris pusaka tersebut bergerak-gerak keatas seolah mau mengangkat orang tersebut.
Dari kejadian ini, saudaranya mengakui akan keampuhan keris pusaka peninggalan ayahnya tersebut dan tidak menyepelekan lagi.