HARIAN MERAPI - Kisah pengalaman horor yang Patmo jadi tukang ojek pangkalan.
Malam itu ia dapat penumpang perempuan genit dan manja sehingga membuat ia terlena.
Tapi ternyata penumpang permpuan itu bukan manusia biasa.
Kala itu belum ada ojek online. Patmo bersama tukang ojek pangkalan lain selalu mangkal di pojok sebuah pertigaan. Menunggu penumpang bis dari arah barat yang banyak turun di tempat tersebut.
“Mangga, Mbak. Saya antar,” ujar Patmo menawarkan jasanya kepada seorang perempuan muda yang turun dari bus. Perempuan itu menatap wajah Patmo dan bertanya.
“Tapi sepedamotor sampeyan waras kan? Tujuan saya jauh sih dan menanjak jalannya”.
Dijawab oleh Patmo, jika kendaraan miliknya sehat. “Mau kemana saja bisa, Mbak. Asal...tidak naik ke puncak gunung Merapi”, jawab Patmo disertai gurau dan tawa renyahnya.
“Oke. Kalau begitu antarkan saya ngalor,” ujar perempuan bercelana jean tersebut yang segera nyengklak ke sadel di belakang Patmo.
Baca Juga: Keluarga berperan penting tangani stunting, begini caranya
Menuruti kehendak penumpangnya, meski belum faham tempat yang akan dituju, Patmo memacu kendaraannya ke arah utara.
“Ya, jalan ini terus saja lurus ke utara. Nanti kalau belok atau hampir sampai, saya beri aba,” ujar penumpangnya.
Patmo merasa hepi. Penumpang perempuan muda itu tidak merasa canggung atau rikuh duduk ngethapel di belakangnya. Tangannya memeluk erat-erat pinggang Patmo.
Sebagai seorang lelaki normal, mendapat ‘kehangatan’ dari penumpangnya, menjadikan pengojek tersebut terlena.
Tidak berfikir panjang terus saja motornya dipacu kencang. Jalan yang dia lewati terasa halus- mulus dan sedikit sekali belokannya.
Baca Juga: Gibran bukan pilihan tepat bagi Prabowo, berikut alasannya...
“Awas, hampir sampai, Mas. Kurangi gasnya”, ujar penumpangnya sambil menepuk pundak Patmo. “Oke. Kita telah sampai”, ucapnya kemudian.
Patmo menginjak rem. Dengan masih duduk di sadel, dia menunggu penumpangnya turun dari boncengan. Ditunggu sampai beberapa menit belum juga penumpang perempuan itu turun.
“Lho, katanya sudah sampai. Kok nggak segera turun?”, tanya Patmo dalam hati. Lalu dia menoleh ke belakang.
Gandrik! Di tempat tersebut ternyata tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Di sekelilingnya sunyi, senyap, dan sepi sekali.
Hanya ada suara desau angin yang bertiup kencang. Dari jarak sekitar tiga kilometer Patmo melihat jelas sekali puncak gunung Merapi yang mengeluarkan asap tipis berwarna putih.
Dan ketika kepalanya melongok ke arah kanan, jurang dalam menganga di sampingnya. “Ya ampuuun...aku diajak naik ke gunung Merapi?!”, ujar Patmo. - Semua nama samaran (Seperti dikisahkan Andreas Seta RD di Koran Merapi) *