Menurut Psikiater Jiemi Ardian, Keseluruhan jenis trauma ini memiliki gejala yang dikategorikan ke dalam dua aspek, yakni ‘hyperarousal’ dan ‘hypoarousal’.
Hyperarousal terjadi ketika tubuh seseorang tiba-tiba menjadi sangat waspada ketika terpicu suatu hal yang menyebabkan trauma. Tubuh pengidap hyperarousal akan bertindak waspada seolah-olah sedang dalam bahaya, diiringi perasaan gelisah, amarah yang di luar kendali bahkan cenderung ingin bertarung atau melarikan diri.
Baca Juga: BPS : Jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 26,36 juta orang
Sedangkan ‘Hypoarousal’ adalah sebaliknya, seperti respon tubuh yang berkurang, kelelahan, mati rasa emosional bahkan depresi. Gejala ini membuat tubuh orang yang memiliki trauma membeku tidak dapat melakukan apa pun.
Orang tanpa trauma atau dalam keadaan pikiran yang tenang atau normal akan cenderung merasa aman, terkendali terhadap pikiran, pilihan dan keputusan dalam segala aspek hidup, namun tidak bagi para pejuang trauma.
“Contoh sederhananya bila seseorang memiliki trauma pernah dikejar macan, lalu dia mengalami serangan panik karena melihat seorang wanita mengenakan celana bermotif hewan tersebut. Jika dilihat dari luar mungkin terlihat sangat berlebihan tapi bila kita melihat lebih detail, ini adalah respon penyelamatan tubuh yang sangat jenius, tubuh langsung mengirimkan sinyal begitu saja untuk kita bereaksi mengamankan diri.” kata Jiemi Ardian.
Namun permasalahanya kita tidak sedang di dalam hutan dan hidup di tempat yang aman dari ancaman itu. Sehingga respon yang cepat ini seringkali mengganggu pejuang trauma dalam keseharianya.
Baca Juga: Tirakat di Makam Ki Ageng Wonokusumo Gunung Kidul, konon bisa dapat petunjuk lewat mimpi
Cara mengatasi gejala trauma
Kabar baiknya, Jiemi mengatakan ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi reaksi trauma itu.
“Trauma bukan berarti tidak dapat disembuhkan, gejala akan mereda dalam waktu singkat itu mungkin, namun untuk sembuh butuh fase jangka panjang karena kita butuh memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang hilang pada saat trauma yang dulu terjadi termasuk keterampilan yang hilang, misalnya regulasi emosi.” tambah Jiemi.
Hal pertama yang dapat dilakukan adalah melakukan meditasi, ada banyak jenis meditasi yang tersedia di kota-kota tempat anda tinggal, bahkan meditasi juga dapat dilakukan di rumah.
Kita juga tidak bisa memungkiri kekuatan musik dalam kehidupan. Mendengarkan musik masih menjadi andalan pada berbagai situasi dan kondisi yang kita alami dan menjadi salah satu cara untuk menenangkan diri.
Baca Juga: PSSI secara resmi hentikan Liga 2 dan Liga 3, Menpora berjanji carikan solusi
Jiemi mengatakan melakukan aktivitas hobi juga dapat memperluas ‘window of tolerance’ atau jendela toleransi kita. Jendela toleransi menggambarkan keadaan di mana kita dapat berfungsi dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita ada di dalam jendela ini, kita dapat beraktivitas secara efektif dan berhubungan baik dengan diri kita sendiri dan orang lain.