Hasil riset: Kandungan BPA pada makanan kaleng lebih besar dari galon untuk wadah air minum

photo author
- Kamis, 14 Agustus 2025 | 15:15 WIB
Ilustrasi - Petugas menemukan krimer dengan kondisi kaleng penyok saat sidak kelayakan makanan minuman kemasan di salah satu pusat perbelanjaan di Kediri, Jawa Timur, Kamis (6/4/2023) (ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani)
Ilustrasi - Petugas menemukan krimer dengan kondisi kaleng penyok saat sidak kelayakan makanan minuman kemasan di salah satu pusat perbelanjaan di Kediri, Jawa Timur, Kamis (6/4/2023) (ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani)

HARIAN MERAPI - Kandungan Bisphenol A (BPA) pada makanan kaleng lebih tinggi dibandingkan yang terkandung pada galon guna ulang berbahan polikarbonat (PC) untuk wadah air minum.

"Sebuah studi meneliti kandungan BPA di berbagai makanan baik makanan segar, beku, dan kaleng. Mereka menemukan BPA di 73 persen makanan kaleng. Di makanan segar dan beku sekalipun juga ditemukan BPA sebanyak 7 persen," kata Dokter Spesialis Gizi Klinik dr. Karin Wiradarma, M.Gizi, Sp.GK, AIFO-K, FINEM dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (13/8/2025).

Seperti dilansir Antara, dokter yang praktik di Rumah Sakit Pusat Pertamina itu menyebutkan bahwa makanan kaleng merupakan sumber utama pajanan BPA di manusia.

Pernyataannya itu sesuai dengan hasil riset yang menemukan BPA terkandung dalam 60–70 persen produk kaleng termasuk produk bermerek besar. Konsentrasi BPA mencapai hingga 730 nanogram/gram (ng/g) dalam sampel makanan kaleng AS, sedangkan survei Kanada mencatat tuna kaleng rata-rata 137 ng/g bahkan puncaknya hingga 534 ng/g.

Baca Juga: Apakah pemakaian galon guna ulang berbahaya bagi kesehatan ? Begini jawaban pakar

Kondisi itu membuka potensi tidak mungkin sama dengan makanan kaleng yang ada di Indonesia. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 20 Tahun 2019 telah menetapkan ambang batas BPA dalam kemasan pangan, termasuk kaleng adalah 0,6 bpj (bagian per juta) atau 600 mikrogram/kg.

Sedangkan dalam riset yang sama, migrasi BPA dari galon guna ulang berbahan polikarbonat (PC) menunjukkan konsentrasi sangat rendah, misalnya 0.128–0.145 ng/g, jauh di bawah level pada makanan kaleng.

Berbagai penelitian di AS dan Kanada juga mempertegas bahwa konsumsi makanan kaleng adalah jalur utama paparan BPA dibanding sumber lain seperti plastik, debu, atau thermal paper yang digunakan untuk struk tagihan.

BPA dapat larut ke dalam makanan saat dipanaskan atau disimpan dalam jangka panjang.

Baca Juga: Khamim bahas 'Mengisi Kemerdekaan dengan Amal Shaleh dan Kebaikan' di Pengajian Rabu Pagi Kajian Majelis Ta’lim Al-Hijrah Masjid Agung Syuhada Yogya

Lebih lanjut, studi klinis oleh Harvard School of Public Health (2011) juga menemukan bahwa konsumsi sup kaleng selama lima hari berturut-turut dapat meningkatkan kadar BPA dalam urin peserta hingga 1.000 persen.

Temuan ini menegaskan bahwa paparan BPA dari makanan kaleng bukan hanya teoretis, tapi nyata terjadi di tubuh manusia. Ironisnya, narasi publik yang beredar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir justru lebih banyak menyasar galon sebagai pelaku utama dalam isu BPA.

Sementara, makanan kaleng yang berdasarkan banyak riset justru menjadi penyumbang terbesar paparan BPA dalam tubuh manusia hampir luput dari sorotan.

Menanggapi temuan itu, Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) Ahmad Sulaeman mengatakan kandungan BPA dalam kemasan kaleng lebih mengkhawatirkan dibanding kandungan BPA pada galon air minum.

Secara logika, katanya, makanan kaleng bisa disimpan dalam waktu yang lama di toko dan tempat penyimpanan sebelum sampai ke rumah konsumen bahkan masyarakat belum tentu segera mengolah makanan kaleng tetapi disimpan lagi untuk nanti.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Widyo Suprayogi

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X