BANTUL, harianmerapi.com – Menjelang atau mendekati Bulan Ramadhan, biasanya terjadi peningkatan kebutuhan minyak goreng kisaran 20 persen, dan menjelang Lebaran bisa naik lagi menjadi 40 persen.
Suatu langkah bijaksana, jika pemerintah membuat regulasi data soal demand and supply (permintaan dan penawaran) minyak goreng, antara lain agar masyarakat tidak resah terhadap stok minyak goreng dan harga yang tidak terkontrol.
“Dan pengendalian harga dengan cara klasik adalah dengan operasi pasar secara berkala di berbagai daerah oleh pihak- pihak terkait. Langkah ini diharapkan bisa menekan harga minyak goreng bila terjadi harga di pasaran yang terlalu tinggi,” papar pengamat dan pemerhati ekonomi, Widarta SE MM, Selasa (22/03/2022).
Baca Juga: Soal Mafia Minyak Goreng, Dewan Tantang Mendag Umumkan Pelakunya
Widarta yang juga dosen Program Studi (Prodi) Manajemen Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY) menambahkan, “fenomena” minyak goreng, akhir- akhir ini marak diperbincangkan berbagai lapisan masyarakat.
Lalu pasca pencabutan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng, Rabu (16/3/2022), banyak diberitakan di media, tiba-tiba stok minyak goreng melimpah yang sebelumnya “ghaib” di pasaran. Hanya selang satu hari pasca pencabutan HET tersebut, minyak goreng melimpah di pasar-pasar maupun toko swalayan.
“Memang stock menjadi melimpah, tapi yang mengejutkan adalah harganya melejit. Dari harga subsidi menjadi harga non subsidi atau sesuai dengan mekanisme pasar yang kenaikkannya bisa mencapai 50 persen,” terang Widarta.
Baca Juga: Video Viral Minyak Goreng Tumpah ke Laut, Satgas Pangan Polri Masih Menyelidiki
Menurutnya, menghadapi permasalahan tersebut, pemerintah tidak bisa lepas tangan, memang ketika HET harga relatif terjangkau, tetapi barang jadi langka dan potensi untuk terjadinya penimbunan / oligopoli/kartel, yang ramai diberitakan sebagai mafia minyak goreng.
“Begitu harga diserahkan pada mekanisme pasar, harga menjadi melejit dan stock pun menjadi melimpah. Untuk itu pemerintah perlu campurtangan dan mencari solusi dengan pihak- pihak yang berada di balik ‘fenomena’ minyak goreng,” tandasnya.
Selain itu, lanjut Widarta, perlunya pemerintah menggandeng Tim Pemantau Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), Bulog maupun instansi terkait lainnnya, untuk berembuk dan menemukan “angka” yang pas tentang kebutuhan di masyarakat dibandingkan kemampuan memproduksi minyak goreng, sehingga ketemu angka maupun harga normal.*