-
ilustrasi APA jadinya bila anak menggugat ibu kandungnya sendiri gara-gara masalah warisan ? Itulah yang dilakukan Trisnorejo Bejo (59) warga Riau dan Juminem (60) warga Prambanan. Mereka menggugat ibu kandungnya Ny Karsoinangun alias Rebon (101) ke Pengadilan Agama Sleman terkait kasus tanah warisan. Mereka mempermasalahkan sebidang tanah di Sambirejo Prambanan seluas 778 m2 yang diklaim milik Rebon dari warisan sang ayah. Mereka juga menggugat dua saudara kandungnya Ny Jumilah (64) dan Tukiyo (64). Terlepas apa isi gugatannya, kasus ini menjadi sangat fenomenal karena terasa aneh dan unik ada anak menggugat ibu kandungnya sendiri, yang notabene telah melahirkan mereka. Kasus ini sebenarnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Namun nampaknya jalan damai sebagaimana ditawarkan oleh Pengadilan Agama Sleman seret, sehingga bisa saja nanti pengadilan memeriksa perkaranya. Dari aspek agama dan sosial kemasyarakatan, sepertinya tidak patut anak menggugat ibunya. Apalagi sang ibu sudah uzur, usia mencapai 101 tahun. Bahkan untuk mediasi sekalipun sulit dihadirkan karena kondisi fisiknya. Jika tetap dipaksakan kasusnya diperiksa pengadilan tentu menjadi preseden kurang baik bagi mereka. Hubungan kekerabatan menjadi pecah hanya gara-gara harta warisan. Sebagaimana diketahui warisan akan terbuka ketika pewaris telah meninggal dunia. Namun, biasanya dalam masyarakat Jawa, sebelum pewaris meninggal, yang bersangkutan telah membagi-bagi hartanya dengan 'nunjuki' anak-anaknya serta istri mendapat bagian apa. Ini dimaksudkan agar sepeninggal dirinya nanti tidak ada saling rebut harta waris. Secara teori, kalau harta itu diberikan saat pemberi masih hidup, maka disebut hibah. Dan umumnya hibah tak boleh lebih 1/3 dari seluruh hartanya. Kembali pada kasus di atas, terlepas siapa yang benar dan salah, alangkah baiknya kasus tersebut diselesaikan secara musyawarah. Agar fair, tak ada salahnya menunjuk mediator yang diterima semua pihak yang berperkara. Di sini tidak ada kalah menang karena yang dicari adalah win-win solution. Rasanya tidak elok bila kasus itu diputus pengadilan, karena apapun keputusannya nanti akan berdampak buruk bagi hubungan mereka. Sebab, apapun putusan pengadilan, pasti ada pihak yang tidak puas atau tidak terima. Padahal semua orang tahu, harta tidak dibawa mati, hanya amal kebaikanlah yang bakal menemaninya setelah orang mati. Jadi, alangkah baiknya ada tenggang rasa, tidak mementingkan ego masing-masing, toh harta itu hanya titipan Yang Maha Kuasa. (Hudono)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Editor: admin_merapi