-
ilustrasi
KASUS dugaan perkosaan sopir travel terhadap penumpangnya, mahasiswi asal Blora, W (22), terus bergulir. Polisi pun tidak serta merta menjadikan sang sopir tersangka, lantaran belum ditemukan bukti yang kuat. Bahkan, ada kemungkinan bahwa perbuatan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka.
Sejauh ini, berdasar hasil visum, tidak ditemukan tanda-tanda terjadinya kekerasan, namun hanya ditemukan terjadinya persetubuhan. Tapi untuk menentukan apakah kasus tersebut atas dasar suka sama suka, polisi juga harus hati-hati. Kalau suka sama suka, mengapa W melapor ke polisi ? Atau, jangan-jangan W merasa dikecewakan setelah terjadinya hubungan badan.
Sebagaimana dalam kasus perkosaan pada umumnya, visum dokter selalu menunjukkan indikasi terjadinya kekerasan, sehingga polisi mudah mengusutnya. Lantas bila visum tidak menunjukkan terjadinya kekerasan apakah berarti tidak ada perkosaan ? Belum tentu juga. Merujuk Pasal 285 KUHP, perkosaan adalah persetubuhan paksa oleh laki-laki terhadap perempuan, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Untuk membuktikan adanya kekerasan, visum selalu menjadi rujukan. Bagaimana halnya dengan ancaman kekerasan, apakah juga bisa terbaca lewat visum ? Bisa saja tidak terbaca. Karena itu kemudian dikuatkan dengan kesaksian. Nah, dalam kasus perkosaan, saksi adalah korban itu sendiri, sementara yang bisa dikorek dari pelaku hanyalah pengakuan. Padahal peristiwa pidana baru dapat diproses bila sekurangnya ada dua alat bukti. Dalam praktiknya, visum dapat menjadi salah satu alat bukti.
Lantas, bagaimana seandainya kejadian tersebut (persetubuhan) dilakukan atas dasar suka sama suka ? Bila itu yang terjadi tentu tidak masuk kategori perkosaan, karena tidak ada unsur paksaan, kekerasan maupun ancaman kekerasan. (Hudono)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Editor: admin_merapi