-
ilustrasi
JAJARAN aparat kepolisian maupun Satpol PP akhir-akhir ini gencar menggelar razia ketertiban masyarakat, terutama praktik prostitusi. Sudah menjadi rahasia umum, tidak sedikit losmen maupun hotel yang digunakan untuk praktik mesum. Hanya saja, khusus hotel berbintang, jauh dari sentuhan aparat kemanan.
Bukan berarti di hotel berbintang tidak ada praktik prostitusi, melainkan karena ada prosedur yang sangat melindungi kepentingan privat penghuni hotel. Ini lebih mengarah pada kepentingan bisnis dan pariwisata. Jadi, harus jujur diakui, razia kesusilaan yang digelar aparat, baik kepolisian maupun Satpol PP masih diskriminatif.
Dengan bahasa yang lebih sederhana: perbuatannya sama, namun perlakuannya berbeda. Bila perbuatan itu dilakukan di hotel berbintang dijamin tak kena garuk, sebaliknya bila di hotel melati atau losmen kecil, rawan garuk. Hal itu dikecualikan bila ada laporan dari masyarakat tentang adanya prostitusi di hotel berbintang, barulah aparat bertindak. Itupun harus sangat hati-hati, karena bila salah langkah, bisa jadi bumerang. Polisi malah bisa diperkarakan karena melanggar privasi seseorang.
Ada fenomena menarik di Desa Girijati Kecamatan Purwosari Gunungkidul baru-baru ini, petugas gabungan dari Satpol PP DIY dan Gunungkidul menggelar razia terhadap puluhan hotel di kawasan tersebut. Hasilnya, mereka mengamankan tak kurang lima pasangan selingkuh. Sedang, dramatisnya, begitu mendengar ada razia, pasangan selingkuh lainnya kabur melewati perbukitan sehingga lolos dari sergapan petugas.
Padahal, setelah diamankan pasangan selingkuh itu hanya diberi pembinaan dengan mendatangkan keluarganya. Setelah itu mereka dilepas dengan janji tidak mengulangi perbuatannya. Metode dengan mendatangkan orangtua atau keluarga tentu dimaksudkan agar pelaku malu dan tidak mengulangi perbuatannya. Lebih dari itu, keluarganya juga malu dan akan mengawasi yang bersangkutan.
Soal apakah cara itu efektif atau tidak, masih harus dibuktikan di lapangan. Terkait dengan tindakan hukum terhadap para peselingkuh, selama ini banyak mengacu pada Perda masing-masing daerah. Dalam kasus di atas, karena masuk wilayah hukum Gunungkidul, petugas menerapkan Perda No 18 Tahun 1954 tentang larangan kegiatan prostitusi di tempat umum. Di Bantul, Sleman dan lainnya juga punya Perda sejenis. Hanya saja, seperti di Bantul, pelaku tak sekadar dibina, melainkan juga dibawa ke pengadilan dengan sangkaan melakukan tindak pidana ringan (tipiring). Sebenarnya, cara yang paling manusiawi adalah dengan pembinaan. (Hudono)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Editor: admin_merapi