Heboh Poligami

photo author
- Minggu, 13 Mei 2018 | 21:03 WIB

 
-
ilustrasi LELAKI berpoligami masih saja mengundang kontroversi di tengah masyarakat. Padahal, secara hukum, boleh saja laki-laki beristri lebih dari satu orang, asal dipenuhi persyaratan yang cukup ketat. Namun, terkadang, karena persyaratan dinilai ribet, para lelaki yang berpoligami memilh nikah secara siri dengan istri kedua atau ketiga. Hanya saja, tidak semua masyarakat mau menerima kehadiran laki-laki berpoligami, apalagi bila menimbulkan kegaduhan. Kasus di Desa Piyaman Gunungkidul bisa menjadi contoh adanya penolakan masyarakat terhadap pria berpoligami, CI (52), warga Semin Gunungkidul. Ia yang tinggal bersama kedua istrinya di rumah kontrakan Desa Piyaman Gunungkidul diusir warga karena bikin gaduh. Pasalnya, CI mengelabui warga dengan mengatakan bahwa istri mudanya, IP (26) sebagai keponakannya. Boleh jadi, karena perbuatan CI yang mengelabui inilah yang membuat warga marah dan mengusirnya. Apalagi, ketika orangtua IP datang ke kontrakan CI dan marah-marah karena tidak mengetahui putrinya telah dinikah siri. Daripada persoalan melebar ke mana-mana, warga berinisiatif membawa mereka ke kantor polisi. Berikutnya warga mengusir CI dari rumah kontrakannya di Piyaman. Kasus ini tergolong unik. Jelas bahwa tindakan CI yang menikahi IP secara siri tidak seizin ayahnya. Diduga CI menggunakan wali hakim untuk menikahi IP. Sementara istri terdahulu, ES (45) tidak mempermasalahkannya, bahkan tidak keberatan IP tinggal bersamanya sampai yang bersangkutan punya anak. Secara internal, sebenarnya tidak ada masalah karena hubungan antara CI dengan keduanya istrinya baik-baik saja. Masalah menjadi ruwet karena orangtua IP tak diberitahu tentang pernikahan putrinya dengan CI. Menghadapi persoalan ini polisi tak boleh bertindak berlebihan. Polisi hanya bertugas menjaga agar ketertiban dan keamanan masyarakat terjaga. Selebihnya, tak boleh mengambil tindakan hukum selagi belum ada aturannya. Dalam perspektif hukum perkawinan di Indonesia, pernikahan siri antara CI dan IP tidaklah diakui negara. Artinya, segala hal yang menyangkut hak dan kewajiban, termasuk hak waris dianggap belum mengikat mereka layaknya suami istri. Meski demikian, bukan berarti mereka dinilai melanggar hukum, sehingga tak tepat bila dikenai sanksi. Lain soal bila terjadi pemalsuan identitas, hukum pidana bisa diterapkan. Di mata hukum Indonesia CI dan IP belum dianggap menikah. (Hudono)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: admin_merapi

Tags

Rekomendasi

Terkini

'Ke-Empu-an' perempuan dalam Islam

Minggu, 21 Desember 2025 | 17:00 WIB

Perlu penertiban pengamen di Jogja 

Minggu, 21 Desember 2025 | 09:00 WIB

Begini jadinya bila klitih melawan warga

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:30 WIB

Juragan ikan ketipu perempuan, begini modusnya

Minggu, 21 Desember 2025 | 08:00 WIB

Doa-doa mustajab dalam Al-Quran dan Al-Hadits

Sabtu, 20 Desember 2025 | 17:00 WIB

Pesan-pesan Al-Quran tentang menjaga kesehatan jiwa

Jumat, 19 Desember 2025 | 17:00 WIB

Tasamuh dalam beragama

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:00 WIB

Keutamaan membaca dan tadabbur Al-Quran

Selasa, 16 Desember 2025 | 17:00 WIB

Manajemen hati untuk raih kebahagiaan sejati

Senin, 15 Desember 2025 | 17:00 WIB

Tujuh kunci masuk ke dalam pintu Surga-Nya

Minggu, 14 Desember 2025 | 17:00 WIB

Ngeri, pekerja tewas di septic tank, ini gara-garanya

Minggu, 14 Desember 2025 | 09:00 WIB

Pak Bhabin kok urusi kawin cerai

Minggu, 14 Desember 2025 | 08:30 WIB

Peran orang tua dalam pembentukan generasi berkualitas

Sabtu, 13 Desember 2025 | 17:00 WIB

Waspadai bukti transfer palsu

Jumat, 12 Desember 2025 | 12:30 WIB
X