Sekadar menyebut contoh baru-baru ini, perampokan dan pembunuhan sopir taksi online , Dani Setiawan (32) di Semarang, ternyata dilakukan dua siswa SMK Negeri 5 Semarang, IB (16) dan TA (15). Mereka nekat merampas taksi, dan sadisnya lagi, menggorok sang sopir saat mengemudikan mobilnya. Karena lukanya sangat serius, korban tak bisa diselamatkan. Sopir taksi itu meregang nyawa di saat sedang mencari nafkah untuk keluarganya.
Sulit diterima akal sehat, bagaimana mungkin anak umur 16 tahun dan 15 tahun tega melakukan kejahatan yang super sadis. Adakah para aktivis perlindungan anak yang membela mati-matian agar kedua anak tersebut tidak dipenjara melainkan hanya ‘dibina’ ? Bagaimana seandainya korbannya adalah keluarga mereka ?
Tindakan kedua pelajar SMK ini sudah sangat keterlaluan dan jauh melampaui batas-batas kemanusiaan. Sudah begitu, mereka masih berdalih bahwa tindakannya (merampok dan membunuh) untuk mendapatkan uang guna membayar SPP. Lengkap sudah kejahatan yang dilakukan dua remaja itu. Kalau merampok dan membunuh dengan cara sangat sadis itu oleh mereka dianggap biasa, apalagi hanya berbohong.
Mereka bukanlah dari keluarga tak mampu secara ekonomi. Orangtua IB dan TA adalah pegawai negeri sipil (PNS). Tak jelas apakah orangtua mereka memperhatikan pendidikan anaknya atau tidak, atau jangan-jangan hanya sekadar memberi uang dan seolah selesai tanggung jawabnya. Tidakkah orangtua punya empati kepada korban yang tewas karena digorok anaknya ?
Anak-anak nakal yang perilakunya tak terkendali, beringas, dan sadis tetap harus mendapat hukuman yang setimpal sesuai undang-undang. Tak ada diversi (penyelesaian di luar hukum) bagi IB dan TA. Mereka harus diajari bertanggung jawab atas perbuatannya. Ke depan, para orangtua, guru tak boleh lagi lengah memantau anak didiknya. Anak yang di sekolah dan di rumah terlihat penurut, belum tentu berperilaku sama di luar. (Hudono)