KEJAHATAN penggelapan dengan modus gadai nampaknya marak di masyarakat. Kejahatan seperti ini terlihat lebih halus dan korban tak terasa telah diperdaya pelaku. Karena tindak pidananya penggelapan, maka barang sebelumnya telah berada di tangan pelaku, biasanya dengan akad meminjam. Setelah beberapa lama, barulah barang di gadaikan.
Umumnya barang yang digadaikan adalah sepeda motor atau mobil yang relatif mudah dipindahtangankan. Seperti kasus gadai yang kini sedang disidangkan di PN Bantul dengan terdakwa HK (45) warga Bantul, modusnya sangat sederhana, yakni dari akad pinjam meminjam mobil untuk suatu keperluan.
Karena butuh uang cepat, HK menggadaikan mobil pinjaman itu kepada Siti Umayah dengan nilai gadai Rp 20 juta, jauh di bawah harga mobil yang nilainya di atas 100 juta. Lantaran Siti Umayah juga tak punya uang, mobil digadaikan lagi kepada Poniran, hingga akhirnya sang pemilik opyak dan lapor polisi. Jadilah gadai berantai.
Kasus pun bergulir ke pengadilan dan HK diajukan sebagai terdakwa kasus penggelapan sebagaimana diatur Pasal 372 KUHP. Sementara Siti Umayah hanya berstatus sebagai saksi. Hampir bisa dipastikan, gadai yang saat ini banyak dijalankan masyarakat adalah gadai tak resmi, alias tak punya izin, melainkan hanya didasarkan pada kepercayaan.
Dalam praktiknya, baik gadai resmi maupun tak resmi, nilai utang atau pinjamannya selalu di bawah nilai barang yang digadaikan. Tujuannya, bila penggadai atau orang yang menggadaikan barangnya ingkar janji tidak membayar utang, maka harta yang dijadikan jaminan akan dilelang sehingga hasilnya bisa menutupi utang penggadai.
Itulah SOP yang dijalankan lembaga pegadaian resmi. Sebaliknya bila gadainya tak resmi, hanya kepada person, maka jaminan hukumnya sangat lemah. Ini b isa dipahami karena persyaratan untuk mendapatkan utang juga sangat ringan, tak memerlukan keterangan macam-macam. Akibatnya, lembaga gadai marak di masyarakat.