ilustrasi
KATA penjarahan sangatlah sensitif ketika diterapkan dalam situasi bencana alam seperti gempa bumi yang baru-baru ini mengguncang Palu Sulawesi Tengah. Di saat warga sangat membutuhkan bantuan, baik berupa makanan, obat-obatan maupun bahan bakar, sementara barangnya sulit didapat, maka sebagian di antara mereka memilih ‘menjarah’ supermarket atau minimarket. Bahkan, sebagian warga juga ‘menjarah’ BBM dari mobil tangki di SPBU.
Apakah mereka harus dihukum ? Nanti dulu, harus dilihat situasinya. Sebab, pada dasarnya mereka bukanlah penjahat atau pencuri yang biasa merebut hak milik orang lain. Mereka menjarah karena didesak keadaan, di mana sulit memperoleh bahan-bahan kebutuhan pokok dalam situasi bencana.
Berita ‘penjarahan’ itu sempat viral di media sosial dan banyak pihak menyayangkannya. Umumnya para netizen mengutuk aksi ‘penjarahan’ tersebut, dan dianggap sebagai memanfaatkan kesempatan dalam situasi bencana. Padahal, kebanyakan mereka yang menjarah, didorong kebutuhan yang sangat mendesak dan tak mampu dicukupi pemerintah saat itu, lantaran situasi tidak menentu.
Kalau hanya melihat hukum formil sebagaimana tertuang dalam KUHP, pencurian di saat terjadi bencana, baik itu gempa bumi, kebakaran, banjir dan sebagainya ancaman hukumannya diperberat. Tentu hukuman itu ditujukan kepada mereka yang benar-benar pencuri dan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Berbeda halnya dengan mereka yang terpaksa ‘menjarah’ lantaran sudah tidak punya akses untuk memperoleh barang-barang kebutuhan pokok. Padahal, dalam situasi bencana, pemerintah harus all out memberi bantuan kepada mereka secara cuma-cuma.
Untuk itulah, pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo cepat-cepat merespons situasi tersebut. Bahkan Tjahjo mempersilakan warga yang terkena dampak bencana untuk mengambil barang-barang di toko serba ada atau supermarket untuk kemudian pemerintah akan menggantinya.
Nah, kalau sudah demikian, masalahnya menjadi jelas, warga yang terdampak gempa bukanlah menjarah. Tindakan mereka dibenarkan pemerintah, sehingga mereka tak boleh dihukum. Lantas, bagaimana pemerintah akan mengganti barang-barang yang diambil warga dari supermarket atau toko serba ada ? Itu urusan pemerintah, tak perlu warga repot memikirkannya.
Langkah pemerintah yang membolehkan warga mengambil barang di supermarket secara cuma-cuma tentu menjadi masuk akal. Sebab, pemerintah saat itu tak bisa langsung hadir memberi bantuan. Melalui supermarket itulah pemerintah menunjukkan tanggung jawabnya memberi pelayanan kepada warganya yang terkena bencana. (Hudono)