ilustrasi
KAWASAN Jalan Babarsari-Seturan Rabu siang pekan lalu sempat mencekam. Puluhan pemuda berlari-lari kecil sambil membawa berbagai senjata, baik itu linggis, parang, maupun kayu. Mereka hendak melakukan sweeping karena salah seorang rekannya ditikam oleh mahasiswa dari daerah lain. Aksi penikaman itu terjadi di sebuah kafe di kawasan Seturan. Singkat cerita, para pemuda ini hendak menuntut balas atas nasib rekannya yang mengalami luka di bagian dada karena ditikam anggota kelompok lain.
Sulit dibayangkan, bagaimana seandainya dua kelompok ini bertemu, diperkirakan bakal terjadi kericuhan lebih besar. Apalagi mereka membawa berbagai senjata yang notabene hendak digunakan untuk menuntut balas. Aksi para pemuda asal luar Yogya ini telah menjadi viral di media sosial. Tak ada yang bisa ditutup-tutupi. Untungnya, kekhawatiran sejumlah pihak bakal terjadi bentrok tidak terjadi. Polisi yang mengawal para pemuda itu pun terlihat lega karena tidak terjadi bentrok.
Meski demikian, peristiwa tersebut masih menimbulkan tanya di masyarakat. Misalnya, bagaimana mungkin polisi membiarkan para pemuda membawa dan mengacung-acungkan senjata tajam di tengah jalan tanpa bisa dicegah. Bukankah tindakan mereka sudah bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap UU Darurat No 12 Tahun 1951 tentang larangan membawa senjata tajam dan benda yang membahayakan keselamatan orang ?
Agaknya, polisi dalam posisi dilematis. Kalau dilarang-larang, dikhawatirkan mereka mengamuk dan merusak fasilitas publik, tapi kalau dibiarkan dikhawatirkan terjadi bentrok. Akhirnya dipilihlah jalan tengah, dengan mengawal mereka melakukan sweeping, tapi dijanji untuk tidak melakukan perusakan. Kesan atau anggapan bahwa tindakan sweeping ini dilegalkan menjadi tidak terbantahkan. Polisi pun telah mengancam bertindak tegas bila mereka bikin onar.
Dari sisi penegakan hukum, tindakan polisi yang membiarkan mereka membawa senjata di jalanan memang keliru. Hanya saja mereka mungkin punya argumen memilih langkah diskresi demi kepentingan yang lebih besar. Apakah politi takut ? Entahlah. Kiranya, terkait masalah ini masih perlu diskusi panjang. Tujuannya agar penegakan hukum tidak diskriminatif. Artinya, hukum berlaku bagi siapa saja, tak peduli dari mana asalnya.
Upaya mencegah tentu jauh lebih baik. Misalnya dengan meminimalkan dampak negatif dari usaha kafe. Bukankah semuanya dipicu oleh miras ? Nah di sinilah peran petugas untuk menertibkannya, antara lain dengan melarang atau setidaknya membatasi konsumsi miras. (Hudono)