ilustrasi
KASUS bunuh diri yang satu ini nampaknya lebih tragis dan spesifik. Gara-gara kurang kasih sayang seorang pelajar SMA warga Godean Sleman, Faditya Fahri Muharom (17) nekat mengakhiri hidup dengan cara gantung diri Sabtu pekan lalu. Gadis remaja ini agaknya merasa tertekan secara psikologis karena orangtuanya telah bercerai. Ia kemudian tinggal bersama ayahnya, dan tidur di tempat neneknya.
Secara hukum kasus pun dianggap selesai, apalagi tidak ada tanda-tanda penganiayaan di tubuh korban. Semua pihak pasti menyesalkan kejadian tersebut. Bukan saja karena korban masih sangat muda, melainkan juga terkait dengan penyebab mengapa yang bersangkutan bunuh diri.
Bagi kepentingan hukum bolehlah dianggap persoalan selesai, tapi bagi kepentingan sosial, budaya dan pendidikan, tentu ini persoalan serius yang harus dicari solusinya agar peristiwa serupa tidak terulang. Broken home atau keluarga yang berantakan acap membawa dampak pada anak. Anak bingung harus memilih siapa, ayah atau ibu. Padahal tak ada salah dalam diri anak tersebut.
Begitu pula terhadap Faditya, orangtuanyalah yang mestinya bertanggung jawab. Mereka bercerai karena mempertahankan ego masing-masing. Mereka tak lagi berpikir bagaimana nasib anak yang ditinggalkan. Setelah ada kejadian (bunuh diri), yang ada tinggal penyesalan. Tapi semua sudah terlambat.
Jika anak sudah tidak nyaman tinggal di rumah, apalagi tidak bersama ayah dan ibunya, maka pihak sekolah mestinya lebih berperan, terutama memberi pendampingan agar anak tersebut punya keberanian untuk menghadapi tantangan hidup. Namun, entahlah, apakah sekolah tempat Faditya menuntut ilmu punya perhatian khusus terhadap yang bersangkutan. Atau malah sebaliknya, sekolah tak mau tahu dengan urusan keluarga siswanya di rumah.
Bila yang disebut terakhir ini yang terjadi, maka sekolah telah kehilangan perannya sebagai orangtua kedua bagi anak. Sebab, pendidikan di sekolah sesungguhnya adalah pendidikan kedua setelah di rumah. Karenanya, bila pendidikan di rumah tak berhasil, sekolah mestinya yang harus menggantikannya.
Kasus di atas seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi sekolah untuk lebih memperhatikan kehidupan siswanya di rumah. Tentu ini jangan diartikan sebagai bentuk intervensi, melainkan lebih tepat sebagai kepedulian sekolah terhadap masa depan anak, termasuk ketika yang bersangkutan berada di rumah. (Hudono)