SEORANG siswa SMP, RN (16) merampok taksi online Jumat malam pekan lalu di kawasan Taman Kaliurang Hargobinangun Pakem Sleman. Berita ini seharusnya membuat para pendidik, orangtua serta mereka yang peduli terhadap anak, introspeksi dan mawas diri. Jangan-jangan ada yang salah dalam mendidik anak-anak, sehingga terjadi peristiwa yang sangat spektakuler itu.
Sulit membayangkan anak belasan tahun merampok taksi. Meski pada akhirnya aksinya gagal lantaran korban berteriak dan minta bantuan warga, peristiwa tersebut menjadi catatan buruk bagi dunia pendidikan anak di DIY. Bagaimana kelak bila anak tersebut telah dewasa ? Entahlah, bila salah didik niscaya perbuatannya bisa makin parah. Aksi RN tergolong kelewat nekat. Menggunakan senjata tongkat besi ia memukuli korbannya, Hartono, dan memaksa merampas mobil. Dalam kondisi berdarah-darah Hartono berhasil meminggirkan mobilnya dan berteriak minta tolong. Warga pun berhamburan menolong korban dan menangkap pelaku untuk kemudian diserahkan ke kantor polisi. Polsek Pakem langsung menahan RN.
Mungkin ada pihak-pihak yang protes terhadap penahanan RN. Biasanya para aktivis perlindungan anak tak setuju dengan penahanan dengan alasan merampas hak anak. Pun mereka memilih tindakan diversi sebagaimana diamanatkan UU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) atau UU No 11 Tahun 2012. Bernarkah demikian ? Diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke luar proses peradilan pidana memang diatur dalam UU SPPA. Bahkan diatur pula melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Intinya, setiap hakim wajib mengupayakan diversi dalam hal anak didakwa melalukan tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah tujuh tahun penjara.
Ancaman terhadap RN jelas lebih dari tujuh tahun penjara, karena perampokan itu didahului dengan kekerasan sebagaimana diatur Pasal 365 KUHP. Tindak pidana pencurian dengan kekerasan ini diancam pidana maksimal sembilan tahun penjara. Meski pada akhirnya nanti hukuman yang bisa dijatuhkan kepada RN, lantaran masih anak-anak, maksimal separoh dari pidana orang dewasa.
Bila untuk kejahatan ini ditempuh cara diversi, boleh jadi tak menimbulkan efek jera. Tak tertutup kemungkinan pelaku melakukan pengulangan pidana. Jika demikian, sudah tepat bila proses hukum pidana terhadap Rn berlanjut. (Hudono)