INI peristiwa tragis yang menimpa anak bangsa. Seorang siswa meninggal dunia akibat dipukul oleh temannya. Peristiwanya terjadi di sebuah madrasah tsanawiyah atau setingkat SMP di Kabupaten Blitar baru-baru ini.
Persoalannya sangat sepele, gara-gara ditegur dan diolok-olok saat keliru masuk ruang kelas. Lebih tragis lagi, itu terjadi di saat pergantian jam pelajaran.
Artinya, peristiwa yang menyebabkan kematian itu terjadi di suasana yang ramai, ketika banyak anak-anak sekolah. Konon, saat itu tak ada yang mampu mencegah pelaku berbuat brutal, memukul temannya di bagian vital, tengkuk atau bagian belakang kepala, dan ulu hati.
Baca Juga: Polres Sukoharjo Tangkap Residivis Kurir Narkoba
Pukulan dilakukan sebanyak tiga kali, namun membuat korban langsung roboh tak sadarkan diri.
Korban sempat dibawa ke UKS, namun dilanjutkan dibawa ke rumah sakit dan dinyatakan kondisinya sudah meninggal. Ya, korban, yakni MA siswa kelas 9.5 sebuah MTs di kabupaten Blitar meregang nyawa, tewas di tangan temannya, KR kelas 9.7.
Meski pelaku masih tergolong anak-anak, demi kelancaran pengusutan kasus tersebut, polisi tetap menahan yang bersangkutan.
Baca Juga: Atasi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, Pemkab Pati Beri Piagam Penghargaan Satreskrim Polresta
Ini memang kasus anak, namun dampaknya sugguh luar biasa karena mengakibatkan nyawa melayang. Anak tetap ditahan, meski terus didampingi aktivis pemberdayaan anak.
Lantas, bagaimana dengan keluarga korban yang telah kehilangan nyawa salah satu anggota keluarga yang dincintainya ? Tentu kondisinya jauh lebih memprihatinkan ketimbang keluarga pelaku.
Berkataitan itu, aparat penegak hukum harus bekerja profesional dengan menjunjung nilai-nilai keadilan tanpa mengabaikan derita keluarga korban. Artinya, jangan hanya fokus pada pelaku yang biasanya justru banyak mendapat perhatian, misalnya tidak perlu dipenjara karena masih anak-anak, dan sebagainya.
Baca Juga: Cerita misteri Kabul saat melewati makam desa pada dini hari melihat penampakan hantu gundul pringis
Dalam sistem peradilan pidana anak, anak yang melakukan kejahatan memang ancaman hukumannya tidak seberat orang dewasa, namun bukan berarti tidak bisa dihukum.
Mereka tetap dapat dihukum sesuai tingkat kesalahannya, dan hukumannya tentu saja tidak dibaurkan dengan orang dewasa. Nantinya mereka akan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan khusus anak, sehingga tidak bercampur dengan orang dewasa.
Bahwa mereka menerima pembinaan dari pemerintah, tentu iya, namun itu bisa dilakukan di Lapas khusus anak, tidak selalu di rumah bersama orang tua. Pemahaman semacam ini kiranya perlu ditekankan agar tidak salah persepsi terhadap anak. Anak yang melakukan kejahatan besar, seperti pada kasus di atas, harus menerima ‘hukuman’ dan ditempatkan di Lapas khusus anak. (Hudono)