HARI-HARI belakangan ini suhu di sejumlah wilayah Tanah Air menghangat menyusul merebaknya demo, termasuk di Yogya. Massa kesal dengan kelakuan sejumlah penyelanggara negara yang tidak peka dan tak punya empati terhadap nasib rakyat.
Kemarahan itu seolah menemukan momentumnya ketika jatuh korban driver ojek online saat berdemo di Jakarta. Affan Kurniawan, driver Ojol itu tewas setelah dilindas mobil rantis Brimob. Sontak peristiwa itu memantik kemarahan massa yang sebelumnya sudah jengkel dengan ulah oknum penyelenggara negara.
Para pendemo itu kemudian melakukan aksi anarkis dengan merusak fasilitas umum, termasuk fasilitas milik pemerintah. Simbol-simbol pemerintah menjadi sasaran amuk massa, terutama gedung DPR dan kepolisian di daerah. Mengapa mereka menyasar tempat tersebut ? Karena dianggap sebagai representasi pemerintah pusat.
Sebelum aksi meletus, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni bikin pernyataan blunder dengan mengatakan orang yang mengusulkan pembubaran DPR sebagai orang tertolol di dunia.
Tak hanya itu, sejumlah anggota DPR seperti Eko Patrio, Uya Kuya dan lainnya berjoget saat Presiden mengumumkan tunjangan mereka dinaikkan. Bahkan, yang menyakitkan, omongan Eko Patrio yang sangat sombong dengan ungkapan tunjangan Rp 3 juta sehari belumlah apa-apa alias masih terhitung kecil.
Bayangkan, di tengah rakyat terhimpit kesulitan ekonomi, anggota DPR mengatakan seperti itu, tentu sangat menyakitkan. Apa yang terjadi kemudian, massa pendemo marah dan menjarah rumah Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, dan lainnya. Mereka membawa barang-barang berharga dari para wakil rakyat tersebut.
Aksi anarkisme memang tidak dibenarkan dan harus ditindak. Namun jangan lupa, mengapa mereka anarkis ? Pasti ada persoalan serius, ketidakadilan, suara tidak didengar dan akses yang tidak merata. Terjadinya penjarahan tak bisa dilepaskan dengan peristiwa sebelumnya, ketika elite kekuasaan menunjukkan arogansinya, tidak mendengar suara rakyat, apalagi berempati.
Rakyat yang sedang dihimpit ekonomi, harus dibebani pajak berlipat-lipat, sementara uang triliunan rupiah dikorupsi, tentu membuat rakyat marah.
Tidaklah bijak hanya menekankan penghukuman terhadap mereka yang anarkis, namun tidak menyelesaikan akar masalahnya. Para pemimpin dituntut peka terhadap nasib yang dipimpin. Sedang yang kita saksikan saat ini, tidak ada empati dari para penyelenggara negara, sebaliknya malah menggerogoti uang negara. (Hudono)