POLRES Temanggung berhasil membongkar penyelewengan BBM bersubsidi jenis pertalite yang dilakukan pedagang kecil. Modusnya sederhana, pelaku S (62) membeli pertalite di beberapa SPBU dengan menggunakan QR Code bermacam-macam serta menggunakan pelat nomor yang beragam agar tidak terdeteksi. Setelah terkumpul puluhan liter pertalite, kemudian memindahkannya ke jeriken menggunakan pompa elektrik.
Selanjutnya, S menjualnya secara eceran kepada masyarakat dengan harga yang lebih tinggi. S dijerat Pasal 55 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sebagaimana diubah dengan Perpu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Apa yang dilakukan aparat Polres Temanggung tentu benar karena didasarkan undang-undang.
Namun, kasus tersebut tentu memunculkan ironi di masyarakat. Mengapa ? S melakukan perbuatan tersebut karena didorong motif ekonomi, yakni berjualan bensin eceran. Bahkan, mungkin kita juga sering membeli bensin eceran seperti yang dijual S. Hanya saja kita tak pernah menanyakan apakah bensin tersebut dibeli dengan cara yang benar.
Jadi, kalaupun yang dilakukan S sebagai bentuk pelanggaran, yakni penyelewengan BBM bersubsidi, itu sangat tidak signifikaan dibanding dengan kasus pengoplosan atau blending BBM yang dilakukan PT Pertamina Patra Niaga yang menjual Pertalite namun diklaim Pertamax dan dengan harga Pertamax. Jahatnya lagi, itu dilakukan sejak tahun 2018 hingga 2023. Akibatnya negara dirugikan hingga ratusan triliun rupiah, bahkan total hampir mencapai Rp 1.000 triliun atau setara dengan sepertiga APBN tahun 2025.
Bayangkan, masyarakat yang membeli Pertamax sejak tahun 2018 sampai 2023 di SPBU telah dibohongi, karena yang didapat sebenarnya hanyalah pertalite yang telah diblending dari RON 90 menjadi RON 92. Ironisnya lagi, mereka tak mendapatkan kompensasi apapun, setelah lima tahun dibohongi. Wajar bila kemudian muncul kekhawatiran masyarakat tidak percaya pada Pertamina.
Sedangkan apa yang dilakukan S sama sekali tidak berpengaruh signifikan. S melakukan demikian karena dorongan ekonomi, sedang pejabat Pertamina melakukan blending atau oplos karena ketamakan ingin mendapat uang sebanyak-banyaknya. Tanpa bermaksud membela, perbuatan S tidak membuat negara terguncang, tapi yang dilakukan para pejabat Pertamina yang melakukan blending BBM jelas mengguncang negara.
Itulah ironi di negeri yang sedang diguncang kasus korupsi di semua lini. Ada perlakuan yang dirasa tidak adil terhadap orang kecil. Kasus itu pula yang kemudian memunculkan kembali istilah hukum tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. (Hudono)