KONTROVERSI kasus pembunuhan Vina dan Eky Cirebon belum juga berakhir. Terlebih dengan penetapan tersangka baru Pegi Setiawan alias Perong, makin menguatkan kecurigaan, ada hal tak beres dalam kasus ini. Apalagi, penangkapan Pegi alias Perong, yang berprofesi sebagai buruh bangunan, banyak mengundang kontroversi.
Sebab, sebelumnya polisi mengumumkan buron kasus Vina ada tiga orang, kemudian diralat menjadi satu orang.
Belakangan terungkap bahwa penetapan tersangka Pegi Perong tak sah, menyusul dikabulkannya gugatan praperadilan kuasa hukum Pegi Perong di Pengadilan Negeri Bandung, Pegi Perong pun harus dibebaskan.
Sebelumnya, jagat dunia maya sempat gaduh, banyak yang membela Pegi. Banyak netizen mempersoalkan polisi yang menangkap Pegi dengan narasi salah tangkap, dipaksakan dan sebagainya. Perong sendiri ketika digelandang polisi sempat mengatakan kepada wartawan bahwa dirinya tak tahu apa-apa. Bahkan, dia berani mati bila melakukan pembunuhan terhadap Vina seperti dituduhkan polisi.
Sementara delapan orang terpidana kasus pembunuhan Vina mengaku tidak kenal Perong, mereka pun mencabut BAP. Ada kabar bahwa pencabutan BAP tersebut atas suruhan pengacara tersangka. Di tengah kegaduhan itu, muncul isu bahwa otak pelaku pembunuhan Vina adalah anak petinggi Polri, meski hal ini telah dibantah yang berkepentingan. Lantas mana yang benar ? Agaknya publik masih harus bersabar, karena kebenaran belum sepenuhnya terungkap.
Belakangan pengacara Pegi mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Bandung, mempersoalkan keabsahan penangkapan dan penahanan Pegi. Gugatan praperadilan ini sangat tepat untuk menjawab keraguan masyarakat, apakah Perong layak dijadikan tersangka. Apakah polisi memiliki bukti yang cukup menjadikan Perong sebagai tersangka kasus pembunuhan. Akhirnya gugatan pun dikabulkan Pengadilan Negeri Bandung.
Baca Juga: Pilkada Kulon Progo minim calon perempuan, dukungan untuk Rania Hemy menguat
Hal ini penting, karena selama ini informasi yang beredar di media sosial sulit dipertanggungjawabkan, dan lebih banyak berupa asumsi. Padahal, kalau sudah menyangkut masalah hukum, yang penting adalah fakta, bukan asumsi. Fakta inilah yang nantinya diuji di pengadilan, yakni apakah fakta tersebut masuk kategori fakta hukum atau bukan.
Meski praperadilan Pegi diterima, tak serta merta kasusnya selesai. Sebab, praperadilan bukanlah sidang pemeriksaan pokok perkara atau substansi, melainkan hanya menyangkut aspek formal prosedural, yakni sah tidaknya penangkapan atau penahanan, sah tidaknya penggeledahan maupun penyitaan dan sebagainya. (Hudono)