ADA fenomena menarik dalam debat kelima capres 2024 yang digelar KPU di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan Minggu malam lalu.
Tak seperti debat-debat sebelumnya, masing-masing calon nampak menahan diri untuk tidak menyerang. Bahkan sebaliknya, saling menguatkan program. Kalau mau jujur, tontonan Minggu malam kemarin jauh dari debat, melainkan hanya sekadar paparan gagasan dan saling menguatkan.
Mengapa bisa demikian ? Agaknya, para calon belajar dari pengalaman sebelumnya, ketika menyerang atau memojokkan kandidat lain justru menimbulkan sentimen negatir dari masyarakat. Alhasil acara yang dikemas dalam tajuk debat capres 2024, tak lebih dari paparan visi-misi dan tanya jawab. Pun tak ada yang mengejar dengan pertanyaan kritis ketika jawaban tak memuaskan.
Baca Juga: Dalam Gelaran IIMS 2024, Pertamina Tampilkan Inovasi Energi Hijau
Mungkin hal ini terkait dengan budaya masyarakat Indonesia, yang tidak suka melihat orang ‘dikuyo-kuyo’ atau dibuli. Orang yang dibuli justru akan mengundang simpati masyarakat. Pada akhirnya akan berpengaruh pada elektabilitas calon. Itulah yang terekam dalam debat kelima atau pamungkas Minggu malam.
Apapun itu, masyarakat mudah menilai siapa yang paling unggul dalam debat tersebut. Persoalannya, unggul tak selalu signifikan mendongkrak elektabilitas. Sebab, elektabilitas calon tak semata ditentukan hasil debat.
Sekadar mengingatkan, berdasar survei Litbang Kompas, debat ketiga capres hanya mampu mengubah pilihan responden sebesar 10,5 persen. Artinya, mereka yang sudah menentukan pilihan, bisa berubah setelah melihat debat, namun hanya 10,5 persen. Angka tersebut bersifat dinamis atau bisa berubah, termasuk pada debat kelima kemarin.
Baca Juga: Para petugas KPPS, caleg, dan timses, ini lah tips jaga kesehatan pasca Pemilu
Yang jelas, masyarakat telah mendapatkan gambaran tentang calon yang hendak mereka pilih. Selanjutnya terserah mereka hendak memilih yang mana. Kalau dilihat dari programnya, tentu tak ada yang jelek, semua akan bermuara pada kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat selalu menjadi jargon dalam tema debat, baik yang pertama maupun terakhir.
Soal bagaimana realisasinya nanti setelah terpilih, tergantung pada komitmen masing-masing calon, apakah hanya menebar janji atau benar-benar mewujudkannya . Intinya, ibarat jangan memilih kucing dalam karung, yang tak tahu reputasinya alias asal memilih. Sebab, ini akan menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan.
Kita pasti menginginkan Pemilu 2024 berlangsung lancar dan damai, baik dalam pemilihan legislatif maupun presiden/wakil presiden. Sebab, pada dasarnya, siapapun yang terpilih nanti, adalah putra terbaik bangsa. (Hudono)