Terdakwa kasus korupsi PT Asabri divonis nihil, Kejagung menilai Pengadilan Tipikor keliru terapkan hukuman

photo author
- Minggu, 15 Januari 2023 | 07:30 WIB
  Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana.  (ANTARA/HO-Puspenkum Kejagung)
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana. (ANTARA/HO-Puspenkum Kejagung)

HARIAN MERAPI - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dinilai keliru menerapkan hukuman kepada terdakwa Benny Tjokrosaputro dalam kasus korupsi PT Asabri (Persero).


Demikian penilai Kejaksaan Agung (Kejagung) yang disampaikan melalui Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.


Seperti diketahui, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis nihil kepada Benny Tjokrosaputro dalam kasus korupsi PT Asabri (Persero).

Baca Juga: Pengalaman horor Rino tinggal di rumah berhantu 3: Orang menyebutnya dengan nama kandang bubrah


Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu, menyatakan kekeliruan itu menjadi salah satu alasan jaksa penuntut umum mengajukan banding atas putusan tersebut.
 
"Majelis hakim Pengadilan Tipikor keliru dalam menerapkan hukum karena Benny Tjokrosaputro terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa," kata Ketut.
 
Ia menjelaskan dakwaan jaksa, yakni primer pasal 2 dengan ancaman minimal empat tahun penjara sehingga penerapan hukuman nihil bertentangan dengan Undang-Undang Tipikor.
 
Selain keliru, lanjut Ketut, putusan tersebut mengusik dan mencederai rasa keadilan masyarakat karena Benny Tjokrosaputro telah melakukan pengulangan tindak pidana dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya.

Baca Juga: Persebaya Surabaya resmi usulkan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Komite Pemilihan, berikut komentar netizen
 
Menurut ia, setelah diputus dengan hukuman seumur hidup, seharusnya ada penambahan hukuman dengan hukuman mati terhadap terdakwa sesuai dengan doktrin hukum pidana.
 
Tidak hanya itu, kata dia, proses hukum atas Benny Tjokrosaputra dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya sudah berkekuatan tetap (inkracht), tetapi Benny masih memiliki upaya hukum luar biasa dan mengajukan hak-haknya untuk mendapatkan grasi, remisi, dan amnesti.
 
"Sehingga apabila dikabulkan maka akan membahayakan bagi penegakan hukum dan seharusnya ada persyaratan khusus dalam putusan a quo," ujarnya.
 
Atas putusan majelis hakim tersebut, Kejaksaan Agung telah menentukan sikap dengan mengajukan banding.
 
Kejaksaan Agung sependapat dengan pandangan beberapa elemen akademisi dan praktisi untuk menguji putusan tersebut ke tingkat pengadilan banding.

Baca Juga: Kasus keracunan ciki ngebul, Kemenkes RI tak rekomendasikan pedagang keliling berjualan
 
"Putusan tersebut jauh dari rasa keadilan dan mengakibatkan ketidakpastian hukum," tegas Ketut.
 
Ketidakpastian hukum dimaksud, yakni putusan yang merugikan negara lebih dari Rp40 triliun apabila diakumulasikan dengan dua perkara yang dilakukan Benny Tjokrosaputro secara absolut mengingkari nurani keadilan itu sendiri.
 
Hal ini tidak saja merugikan keuangan negara, tetapi merugikan masyarakat luas, terutama pensiunan TNI dan Polri yang selama ini menjaga keamanan negara.
 
Ia menyebut ada kesalahan yang sangat fatal dalam penerapan pasal 67 KUHP, selain bertentangan dengan asas hukum lex specialis derogat lex generalis yang berlaku dalam UU Tipikor pada perkara a quo, juga tidak secara tegas pasal tersebut diterapkan bagi tindak pidana yang dilakukan secara akumulasi dalam perkara terpisah.

Baca Juga: Polemik pendidikan pembalap MOTO 3 Junior GP Fadillah Arbi Aditama di SMAN 1 Purworejo berakhir manis

Selanjutnya, putusan tersebut akan menambah ketidakpastian hukum karena hak terpidana dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya dalam mengajukan upaya hukum luar biasa (PK) dan hak dalam mengajukan hak-haknya, seperti remisi, grasi dan amnesti, justru akan melemahkan putusan yang pertama dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya.
 
"Seharusnya putusan tersebut dibarengi dengan putusan bersyarat sebagaimana lazimnya dalam penegakan hukum," kata Ketut menerangkan.

Ia melanjutkan penerapan pasal 67 KUHP sebagaimana dalam putusan a quo akan menyulitkan bagi jaksa dalam mengeksekusi harta benda terdakwa dalam perkara PT Asabri.
 
Padahal, Benny Tjokrosaputro juga dijatuhi hukuman pada kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU), sementara harta yang telah disita dengan akumulasi kerugian Rp40 triliun masih jauh dari kata penyelamatan.

Baca Juga: Bocah di Sleman keracunan ciki ngebul, BPOM DIY jelaskan bahaya jajanan viral yang mengandung Liquid Nitrogen
 
"Ini sangat tidak adil," kata Ketut.

ia menambahkan jaksa penuntut umum dalam mengajukan upaya hukum sangat rasional dan yuridis, mengingat tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa.
 
Maka harus dilakukan upaya-upaya yang luar biasa dalam penyelesaiannya, seperti selama ini yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dalam menerapkan unsur perekonomian negara disamping TPPU sebagai solusi untuk memiskinkan koruptor dan keluarganya.

"Harapannya ke depan putusan-putusan pengadilan yang baik dapat dijadikan yurisprudensi atau sumber hukum utama dalam penegakan hukum," kata Ketut.
 
Sebelumnya, Kamis (12/1), majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis nihil dan kewajiban membayar uang pengganti Rp 5,733 triliun kepada Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asabri (Persero) serta pencucian uang.*

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Hudono

Sumber: ANTARA

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Ada jaksa yang ditangkap dalam OTT KPK di Banten

Kamis, 18 Desember 2025 | 15:15 WIB
X