HARIAN MERAPI - Pasca peristiwa G 30S PKI 1965 situasi bangsa Indonesia tidak langsung adem ayem.
Sebaliknya, setelah G 30S PKI meletus itu gelombang unjuk rasa terus terjadi.
Unjuk rasa tidak hanya menuntut pembubaran partai komunis sebagai dalang G 30S PKI.
Tapi, juga menuntut penurunan harga-harga kebutuhan pokok, utamanya BBM dan beras.
Muncul banyak organisasi kemahasiswaan, tokoh agama, dan sebagainya yang merapatkan barisan untuk melancarkan tuntutan itu.
Nur Johan dalam bukunya tentang PKI menyebut massa parpol dan ormas membuat Kesatuan Aksi Pengganyangan PKI.
Sejumlah tokoh antara lain Subchan dan Yahya Ubaid dari NU. Kemudian, Prodjokoesoemo dari Muhammadiyah, dan banyak lagi.
Mereka menuntut pembubaran PKI dan menyebut G 30S PKI sebagai Madiun Kedua.
Membubarkan PKI memang tidak mudah karena saat itu PKI merupakan partai politik besar dan legal. Bahkan, PKI adalah pemenang Pemilu tahun 1955.
Namun, gerakan massa menuntut perbaikan ekonomi dan pembubaran PKI terus membesar. Pada tanggal 8 Oktober 1965, sekitar 42 partai dan ormas berkumpul di Taman Surapati Jakarta.
Pertemuan itu menghasilkan keputusan bersama. Mereka antara lain menyatakan berdiri di belakang Presiden Soekarno dalam menumpas G 30S PKI.
Namun, ternyata tuntutan ormas orpol tidak segera ditindaklanjuti oleh Presiden Soekarno. PKI tidak juga dibubarkan, sehingga makin membuat rakyat marah.
Pada akhirnya aksi massa menjadi anarkis. Gabungan ormas bergerak sendiri dengan membakar Kantor PKI di Kramat Jati Jakarta.
Mereka juga membakar kantor-kantor lain yang berafiliasi dengan PKI. Aksi tersebut ternyata juga terjadi di daerah lain seperti di Bandung, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagainya.
Alhasil, situasi sosial politik dan ekonomi makin runyam. Tuntutan pembubaran PKI makin membahana di mana-mana.*