Meski demikian, penyidik menemukan bahwa pelaku memiliki ketertarikan terhadap konten kekerasan di dunia maya.
Hal ini dinilai sebagai salah satu faktor yang memengaruhi pola pikir dan perilakunya.
“Berdasarkan keterangan yang kami himpun, ABH dikenal sebagai pribadi yang tertutup dan jarang bergaul,” lanjut Asep.
“Dia juga memiliki ketertarikan dengan konten kekerasan serta hal-hal yang ekstrem,” pungkasnya.
Baca Juga: Inilah Juknis baru BGN, SPPG maksimal layani 2.500 penerima manfaat MBG
Latar Belakang Sosial Jadi Fokus Pemeriksaan
Keterangan dari penyidik menyoroti bahwa faktor psikologis dan sosial menjadi bagian penting dalam penanganan kasus ini.
Polisi kini bekerja sama dengan lembaga terkait, termasuk tim trauma healing dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), untuk memastikan proses hukum berjalan dengan mempertimbangkan usia dan kondisi mental pelaku.
Temuan bahwa pelaku merasa terisolasi menambah fokus pemerintah dan aparat terhadap pentingnya pendampingan psikososial di lingkungan sekolah.
Baca Juga: Sejumlah objek wisata di Banyumas bersolek hadapi libur akhir tahun
Hingga kini, Polda Metro Jaya masih terus mendalami motif di balik tindakan tersebut, termasuk memeriksa latar belakang keluarga, aktivitas media sosial, dan jejak digital pelaku.
Polisi menegaskan penanganan dilakukan secara hati-hati dengan pendekatan hukum yang tetap memperhatikan perlindungan anak. *