Selain tambang, Anda juga menyoroti inefisiensi di tubuh BUMN, termasuk Krakatau Steel. Apa yang sebenarnya terjadi?
Krakatau Steel itu contoh nyata proyek gagal yang mahal. Blast furnace senilai Rp30 triliun salah desain, tidak berfungsi, dan sekarang menimbulkan utang besar.
Kami di DPR mendorong agar setiap BUMN wajib memiliki studi kelayakan dan audit proyek yang benar-benar transparan.
BUMN harus “kurus tapi kuat,” bukan gemuk tapi lamban. Jangan semua proyek dibiarkan atas nama program strategis tanpa akuntabilitas.
Baca Juga: Pemerintah Batalkan Visa, 6 Atlet Israel Gagal Berlaga di Kejuaraan Dunia Senam 2025
Bagaimana posisi Anda terhadap pembentukan Danantara, badan investasi BUMN yang baru?
Saya mendukung pembentukan Danantara, tapi dengan catatan. Lembaga ini bisa memperkuat investasi negara, asal tidak menjadi birokrasi baru atau “kantong politik.”
Danantara harus profesional dan transparan. DPR akan mengawasi betul arah investasinya agar benar-benar sejalan dengan kepentingan nasional, bukan kepentingan kelompok tertentu.
Belakangan Anda juga banyak bicara soal serbuan impor murah dari Tiongkok dan Thailand. Seberapa serius dampaknya bagi industri nasional?
Sangat serius. Baja, semen, tekstil, semuanya kena. Harga produk impor bisa jauh di bawah biaya produksi dalam negeri. Kalau impor terus dibiarkan dengan bea masuk 0%, industri kita bisa habis.
Saya meminta aturan dibuat lebih tegas. Impor hanya boleh masuk kalau produksi lokal sudah terserap. Negara-negara maju menjaga industrinya, kenapa kita justru membiarkan industri kita lemah?
Sebagian orang menilai langkah itu terlalu proteksionis. Anda tidak khawatir dianggap anti-pasar bebas?
Baca Juga: Penyerapan pupuk bersubsidi di Temanggung berkisar 55 persen
Saya bukan anti pasar bebas, tapi saya percaya pada proteksi pintar. Negara harus melindungi sektor-sektor strategis. Kalau industri dasar kita mati, kedaulatan ekonomi juga mati.