HARIAN MERAPI - Sejumlah bangunan warga di RT. 19 Grigak, Giripurwo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo, terancam longsor akibat aktivitas tambang yang diduga ilegal. Warga mengeluh, sebelum alat berat masuk dan mengeruk tanah tidak ada sosialisasi dari pihak penyelenggara maupun pelaksana.
Salah satu pemilik lahan di RT. 19, Munjid Alamsyah, menyebut aktivitas tambang tersebut sebelumnya hanya ada di RT. 18. Namun selama sebulan terakhir aktivitas tambang itu merambat hingga RT. 19.
“Izinnya ke RT. 18, kemudian melebihi target sampai ke RT. 19 tanpa sosialisasi, tidak warga yang disosialisasi. Tidak ada izin resmi, izin omong-omong saja langsung dikeruk,” kata Munjid saat ditemui di Yogyakarta, Jumat (17/10/2025).
Ia mengungkapkan luas lahan RT. 19 yang sudah digali mencapai 2 hektar, seluruhnya merupakan pekarangan. Setiap hari kecuali saat hujan, terlihat alat berat menggali tanah dan lalu-lalang truk mengangkut tanah.
Baca Juga: Baru keluar penjara jambret emak-emak, residivis diamankan Polsek Mlati
Bangunan yang menjadi batas terakhir terancam longsor jika terjadi lantaran hanya berjarak satu meter dari tebing curam hasil galian sedalam 10 meter.
“Bangunan terakhir rumah singgah dan pengelolaan, buat pembelajaran masyarakat, sama ada kandang dulunya kandang ternak gemak. Tanpa ada sosialisasi, tiba-tiba terhimpit. Kita dikasih tahu sudah terhimpit tinggal satu meter, langsung ke bawah tegak lurus sekitar 10 meter,” jelasnya.
Munjid mengatakan, jika bangunan terakhir itu dirobohkan untuk dikeruk tanahnya, dikhawatirkan aktivitas pertambangan semakin meluas dan dampak pasca tambang semakin mendekat ke warga sekitar. Sebab, jarak antara galian tambang ke pemukiman terdekat hanya sekitar 20 meter.
“Saya ngomong-ngomong sama warga, mereka senang kalau kandang sama bangunan terakhir itu dipertahankan,” katanya.
Baca Juga: Berniat ngonten, dua remaja tewas di Sungai Gung Tegal
Pemilik bangunan terakhir, lanjut Munjid, sebenarnya memperbolehkan lahan tersebut digali dengan syarat setidaknya dibuatkan talud.
Namun pihak pelaksana tidak menyanggupi dan terkesan lepas tangan jika terjadi sesuatu yang buruk pasca penambangan. Bahkan warga tidak tahu lahan galian tersebut ke depannya akan difungsikan sebagai apa.
“Setelah tambang selesai tidak tahu mau dibuat gimana, gambarnya seperti apa masyarakat tidak tahu. Cuma kata Pak Dukuh yang di RT. 18 dibuat pembuatan bibit, yang RT. 19 belum tahu,” sambungnya.
Warga pun bingung bagaimana menyikapi persoalan ini. Pasalnya, mayoritas warga berprofesi sebagai petani dan tidak paham regulasi melaporkan tambang ilegal ini. Selama ini warga hanya membiarkan saja adanya aktivitas tambang tersebut.
“Warga bingung lapor ke mana, kalau ke kabupaten ketemu siapa bingung. Tingkat pengetahuannya beda sama orang kota. Ada penambangan ya dibiarkan saja, mau berargumentasi sama (ketua) RT, Dukuh, gitu juga nggak sampai,” terangnya.