Ini Sikap Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Terkait Aksi 20 Mei 2025

photo author
- Rabu, 21 Mei 2025 | 21:27 WIB
Ilustrasi - Sejumlah pengemudi ojol saat menggelar unjuk rasa di Jakarta, Selasa (20/5/2025).  (ANTARA/Khaerul Izan)
Ilustrasi - Sejumlah pengemudi ojol saat menggelar unjuk rasa di Jakarta, Selasa (20/5/2025). (ANTARA/Khaerul Izan)

HARIAN MERAPI - Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) mengapresiasi aksi penyampaian pendapat yang dilakukan oleh sejumlah mitra pengemudi ojek online (ojol) pada 20 Mei 2025. Aksi tersebut sekaligus menjadi pengingat bahwa sektor mobilitas dan pengantaran digital adalah bagian vital dari kehidupan masyarakat modern.

Hanya saja, wacana pemaksaan komisi 10 persen dan reklasifikasi mitra menjadi pegawai tetap bukan hanya berisiko namun bisa menghentikan denyut ekonomi digital Indonesia.

Menyikapi hal ini, Modantara menegaskan posisi industri secara lugas, adil, dan berbasis kepentingan jangka panjang. Karenanya, niat baik tidak boleh berubah menjadi krisis baru.

Baca Juga: Menjaga Komisi Ojol di Level 20 Persen untuk Keberlanjutan Ekosistem Digital dan UMKM

“Kami memahami keresahan mitra, namun solusi harus berpijak pada realitas ekonomi, bukan sekadar wacana politik,” ujar Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/5).

“Ekosistem ini terbukti jadi bantalan sosial saat krisis, oleh karenanya kebijakan yang mengaturnya harus berpijak pada data dan mempertimbangan dampak jangka panjang,” sambunya.

Menurut Agung, omisi 10% bukan solusi universal. "Komisi tidak bisa diseragamkan seperti tarif parkir. Industri ini bergerak dinamis dan bertumbuh tanpa aturan yang kaku dan seragam," lanjutnya.

Baca Juga: Stop Politisasi Ojol, KON Tegaskan Tidak Turun ke Jalan

Batasan atas 10% komisi platform, ujarnya, akan memaksa beberapa platform untuk mengubah model bisnisnya secara sangat signifikan dan mendadak. Wacana ini terdengar sederhana namun efeknya bisa kompleks, sistemik, dan mengancam kestabilan ekonomi.

Menurutnya, setiap platform memiliki model bisnis yang berbeda dengan tawaran komisi yang berbeda-beda, menyesuaikan dengan segmentasi layanan, target pasar, inovasi teknologi, dan kebutuhan mitra. Sehingga mitra memiliki pilihan untuk memilih layanan dengan platform fee sesuai kebutuhan tanpa harus memaksa penyeragaman.

Oleh karena itu, pemaksaan komisi tunggal dapat menghambat inovasi layanan dan program pemberdayaan mitra, mengancam keberlangsungan layanan, khususnya di area dengan margin rendah dan mendorong efisiensi berlebihan yang berdampak ke kualitas pelayanan konsumen.

Baca Juga: Tidak Ikut Aksi 20 Mei, ORASKI Memilih Jaga Ekosistem, Tolak Intervensi Berlebihan

“Ketika niat melindungi justru membuat jutaan mitra kehilangan akses kerja fleksibel, kita perlu berhenti dan bertanya. Siapa sebenarnya yang terlindungi?" paparnya.

Gagasan menjadikan seluruh mitra pengemudi sebagai karyawan tetap mungkin terdengar mulia, tapi realita di lapangan berkata lain. Jika skema reklasifikasi mitra diberlakukan, data menunjukkan lebih dari 1,4 juta pekerjaan bisa hilang, dan PDB Indonesia berisiko turun hingga 5,5% (Svara Institute, 2023).

Berdasarkan kajian dan pengalaman Internasional, pengubahan status mitra menjadi karyawan penuh waktu secara massal berpotensi menghapus 70–90% lapangan kerja di sektor ini (Svara Institute, 2023). Menurunkan PDB hingga Rp 178 triliun, dengan potensi 1,4 juta orang kehilangan penghasilan. Mengakibatkan kenaikan harga layanan hingga 30%, (terjadi di Inggris dan Spanyol). Memukul keras UMKM yang sangat tergantung pada pengantaran instan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Sutriono

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Ada jaksa yang ditangkap dalam OTT KPK di Banten

Kamis, 18 Desember 2025 | 15:15 WIB
X