HARIAN MERAPI - Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengajukan pembelaan atas dakwaan dirinya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat.
Menurut Hasto, dalam perkara yang membelit dirinya, baik dalam dakwaan perintangan penyidikan maupun suap, tidak ada kerugian negara.
"Ditinjau dari asas kepentingan umum dan proporsionalitas, kasus ini tidak ada kerugian negara," kata Hasto saat membacakan nota keberatan atau eksepsi dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat.
Dia mengungkapkan Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa kewenangan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi, yang antara lain menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1 miliar.
Maka dari itu, Hasto menilai terdapat proses daur ulang terhadap persoalan yang sudah disidangkan dan memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah dalam kasus yang menimpa dirinya.
Persoalan dimaksud, yakni kasus suap penyelenggara negara, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan, yang dilakukan bersama-sama dengan mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri dan mantan narapidana kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) Harun Masiku, Agustiani Tio Fridelina, yang telah inkrah.
Baca Juga: Sidang Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor, siap sampaikan nota keberatan atas dakwaan jaksa
Menurut dia, kasus tersebut didaur ulang tanpa adanya peristiwa hukum lain, seperti tertangkapnya Harun Masiku, yang sampai saat ini masih berstatus DPO (daftar pencarian orang).
Berdasarkan UU KPK Nomor 19 Tahun 2019, dalam menjalankan tugasnya, kata Hasto, KPK berasas pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap HAM.
Untuk itu, kata dia, asas kepastian hukum telah dilanggar melalui proses daur ulang yang tidak hanya merugikan terdakwa, namun juga para saksi. Pasalnya, hampir seluruh saksi yang telah diperiksa dan dihadirkan dalam persidangan sebelumnya diperiksa kembali.
Hasto menuturkan sebagian besar di antaranya ditunjukkan cetakan atau print out pemeriksaan tahun 2020, lalu diminta menandatangani kembali dengan tanggal pemeriksaan tahun ini.
"Proses daur ulang ini mengandung kerawanan dan cenderung mengabaikan fakta-fakta hukum di persidangan sebelumnya," ucap dia.