LEGENDA SUNAN TEMBAYAT (5)
Pangeran Mangkubumi langsung marah besar. Baru kali ini ada pengemis yang datang, namun membiarkan pemberiannya tanpa melirik sekalipun. Belum pernah ada yang menghinanya demikian.
“JIKA hanya butuh emas, saya hanya butuh cangkul untuk mengambilnya.”
Sunan Kalijaga memberi tambahan keterangan. Namun keterangan ini malah menambah murka Sang Pangeran.
“Ambil cangkul. Kita lihat apa yang bisa dilakukan pengemis tua ini!”
Seorang abdi dalem berlari mengambil cangkul di halaman belakang. Para punggawa dan abdi dalem yang lain mengerubungi Sunan Kalijaga. Cangkul diserahkan. Sunan Kalijaga berjalan menuju tengah halaman. Sorak sorai dan ejekan mulai terdengar. Sunan Kalijaga tetap tenang
mengayun cangkul. Sekali cangkul. Dua kali cangkul. Tiga kali cangkul.
“Crang.”
Cangkul berderak menghantam benda keras. Dari dalam tanah bekas cangkulan itu keluar sebongkah emas sebesar kepala kerbau. Halaman kabupaten mendadak senyap. Tubuh para punggawa berkeringat. Wajah para abdi dalem menjadi pucat.
Sang Bupati terperangah. Sadar bahwa pengemis di hadapannya pasti bukan orang sembarangan.
Sementara sejak awal Pangeran Mangkubumi sudah marah besar dan mengeluarkan kata-kata kasar. Pengemis itu pun menghapus penyamaran. Kembali malih rupa menjadi Sunan Kalijaga.
Seketika itu juga Sang Bupati sadar ia sedang berhadapan dengan seorang junjungan yang terhormat. Sang Pangeran sungguh menyesal. Semakin sadar telah berbuat kesalahan. Pangeran Mangkubumi pun langsung sembah sujud dan memohon ampun.
“Ampun Gusti Sunan. Saya tidak sempat mengenali panjenengan. Ampunilah hamba yang hina ini. Bimbinglah hamba ke jalan yang benar.”
Sunan Kalijaga melihat penyesalan yang mendalam dari Sang Bupati. Dalam tembang Dhandanggula di Serat Babad Demak dikisahkan Sunan Kalijaga memberi wejangan kepada Pangeran Mangkubumi.