Sementara itu Pangeran Silarong semakin kondang namanya sebagai orang sakti. Bahkan diantara para tamu yang datang itu banyak yang menyebutnya bukan saja Pangeran melainkan Panembahan Silarong.
INILAH yang menimbulkan iri hati bagi para sentana dalem kerajaan.
"Anggrayuda, tentunya kau mengerti. Sekarang Pangeran Silarong sudah menjadi orang sakti dengan sebutan Panembahan Silarong. Atas namaku, panggil dia kemari! Jika menolak bunuh saja!" perintah Kanjeng Sunan Gethek.
"Sendika," jawab Anggrayuda bergegas berangkat ke rumah Pangeran Silarong dengan membawa tombak pusakanya.
Perang tandingpun terjadilah sedemikian ramainya, kedua-keduanya memiliki tata gerak yang lincah dan menguasai ilmu kanurgan yang mapan. Saling menyerang dan diserang, mendesak dan didesak, menangkis dan menghindar.
"Wadauuuuhhh….," Anggrayuda mengeluh menahan sakit. Dadanya tergores pedang lawan nampak menyilang begitu panjangnya, luka itu meneteskan darah tak henti-hentinya dan terasa makin lama makin panas seakan menyerap seluruh tenaganya.
"Perlawananku akan berakhir, aku sudah habis," keluh Anggrayuda. Ditatapnya lawannya dengan pandangan yang tajam. Pangeran Silarong berdebar-debar menyaksikan akhir hidup dari teman seperjuangan yang pernah bersama-sama ikut nglurug menaklukkan Blambangan beberapa tahun yang silam, "Oh, iba rasanya," bisiknya dalam batin.
Melihat lawannya yang berdiri di depannya nampak terlena didera oleh perasaan hatinya maka Anggrayuda dengan sisa tenaganya yang terakhir melemparkan tombaknya tepat ke dada lawannya.
Pangeran Silarong mengaduh sebentar lalu ambruk bersimbah darah. Beberapa detik kemudian Anggrayuda juga ambruk ke tanah, keduanya sama-sama gugur dalam perang tanding itu.
Tumenggung Danupaya yang mengintip pertempuran tadi dari balik dinding rumah sebelah hanya bisa menunduk, air mata meleleh di kedua pipinya, sedih.
Ah, kiranya kejadian ini sudah sesuai dengan kutukannya Empu Ajar Salokantara seorang petapa di sebuah gunung di Blambangan. Waktu itu, Prajurit Mataram menaklukkan Blambangan dan mengejar sisa-sisa prajurit Blambangan yang lari ke sebuah gunung. Ternyata di gunung itu ada Empu Ajar Salokantara sedang bertapa. Kemudian Kedua tangan petapa tua itu diikat lalu diseret dihadapkan kepada Pangeran Silarong. Dengan semena-mena petapa tersebut dibunuhnya. Seketika janazah Empu Ajar Salokantara murca, hilang lenyap. Tidak berselang lama di udara terdengar suara gaib "Wahai, Silarong. Aku sudah kamu bunuh tanpa dosa. Ingatlah, kelak jika ada raja Mataram yang cacat pundak kirinya maka di situlah aku menitis untuk menuntut balas kematianku."
"Uuuuuukh…." Tumenggung Danupaya melenguh menarik nafas panjang. Di dalam hati dia berkata "Kejadian ini sudah sesuai dengan kutukan Empu Ajar Salokantara, ngundhuh wohing pakarti." Bukankah saat ini penguasa Mataram adalah Sunan Gethek atau Amangkurat I yang cacat pundak kirinya gara-gara pemberontakan Raden Mas Alit adiknya? (Akhiyadi)