Pasukan Kerajaan Goa yang dipimpin oleh Kraeng Langkese rupanya cukup andal untuk menghadang gerak maju pasukan gabungan Belanda dengan para sekutunya.
PASUKAN Gabungan Belanda, Arupalaka, dan Poleman melawan dengan gigihnya maka pertempuranpun kian berkobar dengan sengitnya. Kraeng Langkese yang mendapat bantuan dari prajurit kerajaan Wajo semakin bersemangat memperjuangkan wilayahnya. Pasukan gabungan Belanda dan Arupalaka serta Poleman itu mulai kocar-kacir. Belanda segera mundur ke tepi pantai kemudian melarikan diri dengan kapal-kapal mereka yang ada di pelabuhan meninggalkan Arupalaka, Poleman dan anak buahnya.
“Huh, sialan. Ternyata Belanda itu tidak bertanggungjawab pada perjanjian yang kita sepakati bersama”, gerutu Arupalaka.
“Kita gempur saja Belanda yang ingkar janji itu!”, usul Poleman.
Arupalaka memandangi Poleman dengan mata mendelik, “Mana mungkin kita bisa menggempur mereka? Persenjataan dan kekuatan kita terlampau kecil dibanding mereka? Kamu mau cari mati dengan menggempur Belanda?”, bentak Arupalaka yang merasa jengkel dengan temannya yang kurang berperhitungan itu.
“Hmmmm, lalu kita mau apa?”.
“Menyeberang ke Pulau Buton. Agaknya hanya di sanalah tempat yang aman bagi kita sambil menununggu bantuan dari Belanda selanjutnya. Sebab hanya dengan bantuan Belandalah kita bisa mengimbangi kekuatan Sultan Hasanuddin”, jawab Arupalaka. Berkali-kali dia menggeram, sisa-sisa kemarahannya masih menggumpal di balik dadanya. Bukan saja karena prajurit-prajurit Kerajaan Goa di bawah kekuasaan Sultan Hasanuddin pernah menyerang pasukan kerajaannya Bone sekaligus mengalahkannya. Tetapi yang lebih menjengkelkan lagi karena ayah dan ibunya Arupalaka juga ditawan oleh mereka.
Beberapa tahun lamanya Arupalaka bersama ratusan prajuritnya bermukim di Pulau Buton yang tidak jauh dari Makasar namun relatif aman karena dipisahkan oleh laut. Pada suatu hari datanglah kapal Belanda yang cukup besar dengan Kapten kapal De Vlammingh ke pulau Buton.
Arupalaka, Poleman, dan semua prajuritnya bersorak gembira menyambut kedatangan kapal itu, di tepi pantai. Mereka berjingkrak-jingkrak sambil mengacung-acungkan senjatanya dan berteriak-teriak kegirangan lantaran bantuan sudah datang.
“Hai, hai, hai! Jangan kegirangan dulu!”, bentak Poleman, “Benar itu yang datang kapal Belanda. Tetapi lihatlah jauh di belakang sana ada iring-iringan kapal yang menuju kemari juga. Kau tahu siapakah mereka?”
“Tidaaaakk?”, jawab mereka serempak.
Sementara itu kapal besar Belanda yang sudah merapat di pelabuhan Pulau Buton Kapten kapalnya segera ngawe-awe. Dia memberi aba-aba agar Arupalaka dan bala prajuritnya naik ke kapal. (Akhiyadi)