Kisah asmara Jaka Lembong, seperti dituturkan H. Chabib Sudarmadi, kala itu dia berkenalan dengan gadis desa yang cantik bernama Gemi. Gadis Gemi sering menunggu lewatnya Jaka Lembong yang membawa pasir dengan kudanya di dekat pertemuan sungai.
PADA suatu hari, Gemi menunggu Jaka Lembong yang lama belum sampai di pertemuan sungai itu. Karena ditunggu lama Jaka Lembong tidak kunjung datang, maka Gemi kemudian ‘anguk-anguk’ (melongok) ke jalan yang biasa dilewati Jaka Lembong. Tempat ‘anguk-anguk’ ini kini disebut Canguk, sebuah tempat yang berlokasi di pinggir Sungai Elo.
Akhirnya, Jaka Lembong menikahi Gemi. Mereka hidup bahagia sebagai penambang pasir dan penjual sayur-mayur hasil pertaniannya. Untuk menghilangkan jejak agar tidak diketahui keberadaannya oleh murid-murid Sunan Katong, Jaka Lembong berganti nama dengan Ki Tambang Yudha. Nama ini sesuai dengan pekerjaannya sebagai penambang pasir. Dan tempat bermukim Ki Tambang Yudha kini bernama Nambangan, sebuah kampung yang kini cukup padat penduduknya di kaki Gunung Tidar dan di lembah Sungai Elo.
Tanah pekarangan lokasi petilasan Ki Tambang Yudha oleh warga setempat dianggap wingit dan pernah ada kejadian-kejadian aneh di luar nalar. Seperti yang dituturkan Hartono, cucu mbah Kromodimejo pemilik tanah pekarangan ini, dulu di sudut pekarangan ada sebatang pohon nangka yang dibeli oleh H. Wardoyo dari Bantul. Dia berpesan kepada Supangat, warga setempat, “Tanah pekarangan ini agak hangat.” Maksudnya, tanah pekarangan ini memiliki aura panas dan bukan tempat sembarangan. Ketika pohon nangka itu ditebang dan roboh, orang dari Bantul itu pun ikut roboh dan pingsan. Dan sadar kembali setelah dirawat warga setempat.
Hartono.
Hartono juga menceriterakan pengalaman pribadinya, ketika dia menebang bambu di pekarangan ini, bambu itu dipotong-potong dan ujung-ujungnya diikat tali agar mudah membawanya. Ketika dia menarik potongan bambu itu ternyata sangat berat, bahkan dia tidak kuat menariknya. Dia merasa pinggangnya menjadi sangat sakit dan tidak kuat berdiri dan berjalan. Hartono bisa pulang ke rumahnya dengan merangkak. Tiba di rumah, dia meminta tolong kepada Pak Slamet. Dengan diberi air kembang akhirnya dia sembuh. Setelah menyembuhkan Hartono, pak Slamet minta diantarkan ke tempat rumpun bambu yang ditebang. Dari penerawangannya ternyata ada sepasang makhluk tak kasat mata yang bermukim di rumpun bambu itu, dan tidak senang ketika pohon bambu itu ditebang. Ketika batang-batang bambu itu akan dibawa mereka menahannya, sehingga terasa berat ketika ditarik. (Amat Sukandar)