Tumenggung Pawira Taruna juga mengutus lurah prajurit Sarageni bernama Ngabei Kuntarana agar menemui Trunajaya di Sampang Madura. Sebab sudah beberapa kali pisowanan Madura tidak mau sowan kepada Kanjeng Sultan di Mataram. Di Sampang naluri Trunajaya sudah bisa mengira-ira kalau akan kedatangan utusan dari Mataram.
“SAMPAIKAN salamku untuk Eyang Pawira Taruna, terima kasih atas suratnya. Namun ki sanak, aku tidak bisa memenuhi permintaan Eyang Pawira sebab sekarang aku sedang sakit. Jika pun Madura tidak sowan kepada Kanjeng Sultan itu juga bukan aku yang melarangnya. Mereka sendiri yang karena sesuatu atau lain hal tidak mau sowan ke Mataram,” jawab Trunajaya.
“Ya. nanti akan aku sampaikan apa adanya jawabanmu ini”.
“Mangga, silakan!”.
Sepeninggal utusan dari Mataram tadi Trunajaya berangan-angan, dia baru saja dari Demung menemui Karaeng Galesong anak menantunya itu. Sebab ada kabar penting yang diterimanya dari Panembahan Rama. Priyayi sepuh yang ampuh tadi kini berada di Kediri maka Trunajaya dan Karaeng Galengsong sepakat untuk menemui orang tua tersebut usai peperangan.
Sementara itu di Demung berkali-kali terdengar gelegar suara meriam yang pelurunya jatuh di daerah pertahanan Karaeng Galesong. Tak terhitung orang-orang Karaeng Galesong yang jatuh jadi korban
Panji Karonuban dan Daeng Wegeni segera menarik mundur pasukannya untuk mengurangi jumlah korban.
“Siapkan meriam kita!”, teriak Karaeng Galesong kepada Daeng Maklucing dan Daeng Marewa yang berada di sayap pasukan sebelah kanan.
“Oke”.
Gelegar suara meriampun kemudian terdengar berkali-kali membalas serangan meriam dari kubu Mataram. Meriam rampasan tersebut ternyata cukup ampuh memperorakporandakan pertahanan Mataram.
“Wadauuuhh, celaka aku!”, teriak Kapten Dulkup serdadu Kompeni yang membantu prajurit Mataram itu terkena pecahan peluru meriam yang jatuh dan meledak di dekatnya. Meski jumlah prajurit Mataram jauh lebih banyak namun gerak majunya bisa ditahan oleh pasukan Karaeng Galesong. Bahkan ketika sebagian dari orang-orang Karaeng Galesong itu mulai mempergunakan bedil untuk menyerang musuh maka keteteranlah prasukan prajurit Mataram.
“Mundur, mundur, munduuurrr….!” seorang lelurah prajurit meneriakkan aba-aba menirukan teriakan Tumenggung Pawira Taruna. Pasukan prajurit Mataram pun mulai menarik diri sebelum terlanjur korban banyak berjatuhan terkena peluru meriam yang jatuh meledak dan pecahannya menyebar kemana-mana. (Akhiyadi)