"Aku tidak mau turun ke Marcapada, aku sudah kerasan tinggal di Suralaya. Jika Sanghyang Narada menginginkan istriku tidak menangis, maka bawalah istri dan anak-anakku kemari!” jawab Prabu Watugunung.
DI SURALAYA Bethara Guru menyelenggarakan pertemuan dengan para Dewata setelah negeri itu tentram kembali.
“Para Dewa di Suralaya yang ulun hormati, syukurlah bahwa Suralaya kini sudah tenteram
kembali. Agar di kelak kemudian hari tidak terjadi gara-gara lagi bagaimana menurut pendapat kalian?”.
“Adi Guru, aku berpendapat begini. Sebaiknya Bethara Wisnu diturunkan ke Marcapada menjadi rajanya para lelembut. Dia kita beri kekuasaan di delapan tempat di Gunung Merapi, Pamantingan, Kebareyan, Lodaya, Kuwu, Wringin pitu, Kayu Ladeyan, dan Alas Roban”, usul Sanghyang Narada.
“Kenapa mesti begitu, Kakang Narada?”, bertanya Bethara Guru.
“Untuk mencegah agar Bethara Wisnu tidak perang tanding lagi dengan Prabu Watugunung. Sebab kecuali sekarang Prabu Watugunung manggon di Suralaya juga karena dia sudah tidak memiliki cangkrimann lagi selain yang berhasil ditebak oleh Bethara Wisnu?”.
“Setuju para Dewa yang terhormat?”, seru Bethara Guru minta pertimbangan dewata.
“Setujuuuu…!”
“Ada lagi pendapat Kakang Narada?”, tanya Bethara Guru.
“Satu pendapat lagi, Adi Guru. Begini, berhubung Prabu Watugung sekarang tinggal di Suralaya maka sebaiknya Bethara Brama juga diturunkan ke Marcapada untuk menjadi Raja di kerajaan Gilingwesi”.
Bethara Guru manthuk-manthuk, “Pendapat yang bagus sekali ulun setuju”, jawab penguasa negeri Suralaya sambil pandangan matanya tak henti-hentinya menatap wajah wanita cantik yang duduk di samping Prabu Watugunung. Ia warga baru di Suralaya dimana Bethara Guru berjanji dalam hati akan selalu memanjakan dan memperlakukan dengan baik warga baru tadi. (Akhiyadi)