Kekuasaan itu kalau sudah jatuh seperti sudah tidak berharga lagi nyaris semua terinjak-injak, terhinakan. Begitulah yang dialami oleh Panji Sumenang ketika Majapahit jatuh ke tangan prajurit-prajurit Demak. Beliau bersama pengikutnya terpaksa harus menyingkir ke Kasultanan Cirebon karena tidak ingin sengsara atau bahkan meninggal di tangan mereka. Meski begitu, beliau tetap berusaha agar pelariannya ke negeri orang bisa sedikit bermanfaat baik bagi dirinya, pengikutnya, maupun bagi masyarakat banyak. Bagaimanakah lika-liku perjalanannya? Ikuti kisahnya berikut ini.
PADA saat Majapahit digempur oleh prajurit-prajurit Demak banyak kerabat Keraton lari berhamburan menyelamatkan diri ke berbagai penjuru termasuk Panji Sumenang cucu dari Brawijaya ke VII (1498-1518) dia bersama prajuritnya menyingkir ke Cirebon. Demi keselamatan dirinya sepanjang pelariannya dia mengganti namanya menjadi Sunan Palang Santikawara. Di daerah-daerah tertentu beliau singgah beberapa hari untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit, Sunan Palang menjadi dalang barangan.
Dipilihnya tujuan pelarian itu ke Cirebon selain karena sebelumnya memang telah memiliki hubungan yang baik juga lantaran sebagai keluarga kerajaan Majapahit beliau telah memeluk agama Islam sebagaimana Sultan Cirebon. Pitutur luhur dan nasihat baik selalu disampaikan dalam setiap pertunjukan wayangnya. Makanya jika dimintai piwulang langsung Sunan Palang selalu menolak dengan halus, “Nontonlah lakon wayang yang nanti malam akan aku pentaskan. Kalian akan dapat mengambil hikmahnya”, ucapnya.
Dengan demikian orang menjadi penasaran dan semakin hari semakin banyaklah mereka yang menyaksikan lakon-lakon yang dimainkannya. Kesempatan ini digunakan oleh Sunan Palang untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam, disisipi dengan pitutur luhur, dan juga filsafat-filsafat kejawen yang intinya sangat menjunjung tinggi harkat kemanusiaan, tepa slira, menghargai hak orang lain bahkan juga menghormati kakek moyang yang sudah meninggal mengenang amal perbuatan baiknya dan sebagainya.
Sultan Cirebon menerima Sunan Palang Santikawara dengan senang hati. Sejak saat itu wayang kulit dikenalkan kepada masyarakat kawasan Cirebon dan sekitarnya. Ternyata kesenian ini bisa diterima dengan baik oleh warga masyarakat. Lakon-lakon carangan lalu diciptakan, tokoh-tokoh baru juga dihadirkan sehingga kian tambah beragam-ragamlah jenis tokoh pewayangan dengan berbagai karakteristiknya. Hal ini untuk memperkaya lakon-lakon pakem yang sudah ada sebelumnya.
Tentu saja pada perkembangan berikutnya bukan tidak mungkin terjadi berbagai perubahan di sana-sini disesuaikan dengan adat, kebiasaan, dan situasi serta kondisi seni budaya setempat yang juga terus berkembang. Salah satu contohnya bentuk wayangpun mengalami perkembangan menjadi wayang golek, wayang thengul, wayang beber dan lain-lainnya.
Ternyata tidak lama, hanya sekitar satu tahunan, Sunan Palang Santikawara mengungsi ke Kasultanan Cirebon. Tahun 1499 setelah situasi dirasakan aman beliau bersama seluruh prajuritnya yang juga berperan sebagai wiyaga atau penabuh gamelan itu pulang kembali ke Majapahit. Mereka menggunakan 8 buah gerobak untuk membawa seperangkat gamelan berikut wayang beserta uba rampenya. (Akhiyadi)