PATUNG Loro Blonyo yang biasanya diletakkan di depan ruang atau senthong tengah adalah simbol orang yang menunggu rumah. Sebuah rumah bagi masyarakat Jawa tidak boleh ditinggal dalam keadaaan suwung blung. Jadi, patung Loro Blonyo ini berfungsi sebagai penunggu rumah. Dengan adanya patung Loro Blonyo di dalam rumah, maka orang yang masuk ke rumah tersebut akan merasa seperti diawasi. Dengan demikian, orang yang masuk ke dalam sebuah rumah kosong akan merasa risih sendiri jika berani melakukan tindakan tercela.
Keletakan patung pria dan wanita Loro Blonyo disesuaikan kedudukan masing-masing pengantin atau tuan rumah. Jika pengantin pria kedudukannya lebih tinggi daripada pengantin wanita, maka patung pria Loro Blonyo diletakkan di sebelah kanan pintu masuk Pasren. Demikian pula sebaliknya. Loro Blonyo juga sering dimaksudkan sebagai simbol bertemunya unsur pria dan wanita (positif dan negatif, lingga-yoni), sekaligus lambang dari kesuburan dan keharmonisan. Ada dugaan pula bahwa Loro Blonyo merupakan lambang dari Dewi Sri dan Sadana. Selain itu Loro Blonyo juga dimaknai sebagai perwujudan Dewi Sri dan Dewa Wisnu.
Ahli lain menyatakan bahwa Loro Blonyo adalah gambaran idealisme hidup orang Jawa tentang ketenteraman hidup setelah melalui proses perkawinan. Ketenteraman hidup atau keselamatan adalah tonggak berpikir positif orang Jawa. Patung Loro Blonyo dianggap sebagai manifestasi dari cara berpikir positif yang demikian (tenteram, selamat, harmonis, dan tidak ada aral melintang). Pada sisi ini pula patung Loro Blonyo dapat dianggap sebagai semacam rangkuman dari berpikir postif yang ditumpahkan lewat imajinasi, sebuah ideologi yang dimanifestasikan secara fisik.
Loro Blonyo dalam pandangan banyak ahli juga dianggap dimaknai luas. Artinya, asal sesuai dengan kontekstualitasnya. Namun Loro Blonyo hampir selalu dimaknai sebagai sosok dua (loro) dan blonyo (pembaluran/luluran). Makna lebih dalamnya adalah dua sosok yang berbeda (laki-laki dan perempuan) yang kemudian menyatu setelah melalui proses pembaluran/peluluran.
Penyatuan demikian tidak mungkin terjadi tanpa adanya rasa kasih sayang di hati kedua pengantin. Kasih sayang inilah yang kemudian menjadi landasan utama dalam perkawinan sehingga sebuah perkawinan berlangsung abadi. Kasih sayang adalah ketulusan, keikhlasan, kesediaan diri untuk mengampuni secara terus-menerus bukan karena terpaksa namun karena hal itu tumbuh dari hati yang dalam.
Tidak mengherankan jika hal ini juga sering dikaitkan dengan Kembar Mayang dan apa yang diistilahkan Tari Karonsih. Kembar Mayang juga dianggap sebagai metafor dari pengantin laki-laki dan perempuan. Lambang kesuburan itu sendiri. Demikian pun Karonsih. Karonsih melambangkan dua sosok yang berbeda (laki-laki dan perempuan) yang kedua-duanya menumpahkan kasihnya untuk pasangannya. (Albes Sartono)