-
DALAM Babad Pakualaman dikisahkan, bagaimana penderitaan yang dialami Pangeran Notokusumo semasa hidup dalam tawanan. Semua terjadi karena adanya dinamika politik yang terjadi di dalam kraton. Tekanan yang sedemikian kuat dengan berbagai tuduhan keji diarahkan pada Notokusumo. Misalnya, menyangkut adanya keterlibatan Notokusumo dalam aksi pemberontakan Ronggo Prawirodirjo di Madiun.
Masa pengasingan yang dimulai dengan pelucutan semua simbol kebesaran seorang pangeran di Semarang, lantas perjalanan ke Cirebon. Dalam ruang tawanan yang sesak dan pengap di bawah pengawasan ketat opsir kejam Waterloo. Bahkan selama dalam tawanan di Cirebon, berulang kali Pangeran Notokusumo dan Pangeran Notodiningrat, putranya mengalami ancaman pembunuhan oleh Waterloo dan para opsir lainnya. Menghadapi semua itu, jiwa besar Notokusumo sebagai seorang yang memiliki iman dan kekuatan spiritualitas tinggi hanya bisa pasrah.
Semua yang sedang dialami semata kerena kehendak Yang Maha Kuasa. Dari sinilah terpancar sikap sumarah marang Gusti yang sedemikian kuat, sebagai perwujudan tingkat ketaqwaan seorang hamba kepada Tuhannya.
Dalam Babad Pakualaman menyebutkan, "perjalanan hidup ayahmu dan aku, telah menjadi perbincangan banyak orang, hidup bagai pesakitan yang hina. Semua itu sudah kehendak Hyang Maha Agung, aku tidak bisa memilih. Tanpa daya harus dipisahkan dari semua orang-orang yang kucintai. Aku hanya bisa pasrah kepada Sang Maha Pencipta."
Berbagai cara pun dilakukan untuk membunuh Pangeran Notokusumo dan putranya, dengan cara halus melalui teror psikologis dengan mengisahkan keadaan orang-orang dekat keduanya yang mengalami perlakuan tidak mengenakkan di dalam kraton Yogyakarta. Bahkan saat itu Pangeran Notodiningrat masih pengantin baru, dikabarkan kalau istrinya dihamili orang. Selain itu secara keji ransum makan yang hanya didapatnya setiap sore hari selalu ditaburi racun, sampai akhirnya keduanya mengalami sakit yang luar biasa bahkan mendekati meregang ajal. Namun kehendak Tuhan belum menitikan takdir, ada seorang opsir bernama Jakub Sari menolong dengan menggunakan jimat tanduk menjangan yang berfungsi menyerap racun.
Selamat dari ancaman pembunuhan secara halus, membuat Waterloo kehabisan akal untuk membunuh kedua pangeran dari Yogyakarta ini. Lantas pada suatu malam dalam keadaan mabuk berat, Waterloo menghunus pedang hendak membunuh keduanya. Namun entah apa yang kemudian membuat Waterloo kemudian mengurungkan niatnya dan meninggalkan keduanya dengan terbirit-birit penuh umpatan.
Gagalnya upaya membunuh Pangeran Notokusumo dan Pangeran Notodiningrat dalam salah satu bagian Babad Pakualaman dituliskan, "seperti daun kering tertiup angin, terbang ke sana ke sini tidak menentu. Begitulah ibaratnya nasib, beruntung orang-orang Belanda yang disuruh membunuh, setiap kali akan menjalani tugasnya selalu mengurungkan niatnya, mereka malah meneteskan air mata karena iba kemudian pergi." (Teguh)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Editor: admin_merapi