-
Batara Wisnu gagrag Yogyakarta, dengan Cakra-nya.
BEGAWAN Abiyasa dari Surakarta mengenakan jubah, sorban, dan pernik-pernik lainnya sehingga terlihat lebih mewah dari gaya Yogyakarta. Wajah dari sang pendeta pun terlihat hanya menunduk secara normal. Setelah kita mengamati kedua bentuk wayang di atas, jangan terlalu cepat mengambil keputusan tentang bungkuknya seorang begawan atau resi menjadi ciri khas Yogyakarta karena gaya Surakarta pun memiliki begawan bungkuk yang digunakan sebagai wayang srambahan.
Ciri-ciri khusus pada wayang begawan bungkuk gaya Surakarta adalah bentuk wajah yang sudah mulai melenceng dari bentuk wajah seperti Begawan Abiyasa ataupun Batara Bayu. Selain itu wayang ini juga hanya satu tangan saja yang dapat di gerakkan, sebuah kontroversi dalam bentuk pakem wayang di Surakarta karena pada umumnya kedua tangan pada wayang Surakata dapat digerakkan.
Jika pada wayang dewa, jenggot menjadi identitas khusus, makan begitu pula dengan wayang begawan atau pendeta dari Surakarta kendati hal ini bukan merupakan sebuah patokan yang dapat di pegang selamanya mengingat wayang Yogyakarta juga mengalami perkembangan.
Dilihat dari wujudnya, wayang dewa gagrag (gaya) Solo berkaki jangkahan yaitu posisi kaki depan dan belakang berjauhan. Sedangkan wayang dewa gagrag Jogja terbagi dua macam, yaitu jangkahan untuk wayang gagah semacam Bayu dan Brahma sementara untuk wayang bermuka halus semacam Indra, Wisnu dan bahkan Batara Guru berkain bokongan dengan tutup kepa surban dan bersampir, baik berbaju atau tidak.
Banyak perbedaan signifikan dapat kita lihat dari bentuk wayang tersebut secara keseluruhan. Di sini dapat kita dapati dalam wayang Batara Guru, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Wisnu, Batara Bayu dan Batara Narada. Tentu masih banyak perbedaan yang bisa kita temui pada dewa-dewa lainnya. (dari berbagai sumber) - (JB Santoso)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Editor: admin_merapi