-
Pertunjukan Langen M<andra Wanara mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat mengingat pada masa itu masyarakat begitu mengidamkan dapat menyaksikan tarian wayang wong yang merupakan pertunjukan eksklusif keraton. Upaya itu berawal dari pertunjukkan kesenian Srandul.
SRANDUL yang berkembang di pedesaan ini bersumber pada cerita atau Serat Menak, yakni cerita yang terpengaruh oleh kesejarahan penyebaran agama Islam. Keaktivan KPH. Yudonegoro III dalam kesenian Srandul ini tidak berkenan di hati KPH. Yudonegoro II (ayahnya).
Ayahnya pun mengusulkan kepadanya agar dirinya lebih fokus menggarap kesenian yang bersumber pada istana. Ia menyarankan kepada puteranya agar mengubah lakon-lakon dalam Ramayana ke dalam suatu bentu kesenian lain namun bercorak istana.
Akan tetapi KPH Yudonegoro keberatan dengan peraturan yang mengikat dari Keraton Kasultanan Yogyakarta. Selain itu ayah dan putera itu juga kurang tertarik dengan kesenian (tari) yang menggunakan topeng yang pada masa itu lazim dilakukan di dalam lingkungan istana Yogyakarta.
Agar idenya dapat terepenuhi, yakni menari dengan bebas tanpa topeng di samping tanpa harus melanggar larangan yang tetap berlaku di dalam keraton, KPH. Yudonegoro III meniru bentuk yang telah lebih dulu ada atau lahir yakni melakonkan suatu lakon dengan posisi gerak menari jengkeng (jongkok). Bentuk tari demikian telah lazim digunakan dalam jenis kesenian yang disebut Langendriyan.
-
MERAPI-AMBES SARTONO
Tangga menuju kompleks makam Patih Danureja VII.
Langendriyan sendiri merupakan jenis kesenian yang diciptakan oleh Raden Tumenggung Purwadiningrat dan selanjutnya dikembangkan oleh saudara iparnya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi (putera Sultan Hamengku Buwono VI). Langendriya ini lahir sekitar tahun 1855.
Meskipun mengacu pada kaidah-kaidah tari di dalam Langendriyan, napas pedesaan dalam pola tari yang diciptakan KPH Yudonegoro III tetap ditonjolkan. Tidak aneh jika pola tari atau kesenian yang diciptakan KPH. Yudonegoro III ini pada beberapa adegan terkesan lebih urakan.
Tuangan-tuangan kebahasaan yang halus yang mengacu pada keistanaan ia sisipi pula dengan ekspresi bahasa gaya pedesaan yang lugu, kasar, dan ekspresif namun gampang dimengerti. Kesenian yang diciptakan oleh KPH. Yudonegoro III diberi nama Langen Mandra Wanara. (Albes Sartono/Jbo)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Editor: admin_merapi