-
KAMI tinggal di pinggiran kota Yogyakarta bersama ibu yang sudah menjanda beberapa tahun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ibu membuka warung kelontong. Berjualan kebutuhan sehari-hari. Kami hidup amat hemat karena hanya keuntungan dari warung itu yang kami gunakan untuk makan sehari-hari.
Setiap pagi ibu kulakan di sebuah pasar tradisional. Kami juga sering menjual sayur mayur, buah dan penganan. Suatu kali saat beliau kulakan, saya bersih-bersih di rumah. Menyiapkan baju seragam sekolah anakku. Seperti biasa setelah pulang dari pasar, ibu menata dagangan di warung kelontong kami, sedang saya sibuk memasak.
Begitulah kehidupan kami sehari-hari. Kebetulan rumah kami ada di pinggir jalan, jadi eman-eman kalau tidak dimanfaatkan. Warung itu dibuka atas inisiatif ibu. Tapi semasa hidupnya bapak punya andil membesarkan warung itu.
Sekitar pukul sepuluh, kami dikejutkan dengan kedatangan sebuah taksi on-line. Berhenti persis di depan warung kami. Begitu sopir turun langsung menghampiri warung kami. Saya pun segera menjemputnya.
“Selamat pagi, Mbak. Apa benar di sini rumah Pak Arwani (bukan nama sebenarnya)?” tanya sopir taksi itu.
“Iya betul. Maaf, apa yang bisa saya bantu?” jawab saya.
“Begini Mbak, tadi sekitar pukul delapan ada bapak mengaku bernama Pak Arwani menelpon taksi kami. Beliau minta untuk dijemput di alamat rumah ini (sambil menunjukkan selembar kertas). Beliau minta diantar ke sebuah alamat yang akan disebutkan setelah beliau naik taksi.”
Terang saja kami kaget. “Masak ada orang sudah meninggal bisa memesan taksi. Bapak saya kan sudah meninggal,” kata saya kepada sopir taksi. Tak percaya atas jawaban saya sopir taksi itu lalu minta pamit untuk membawa temannya yang menerima telepon.
Tak berapa lama si sopir taksi datang lagi bersama temannya yang menerima telepon dari Pak Arwani.
Tapi setelah mendengar penjelasan ibuku, mereka terbengong-bengong. “Jadi, Pak Arwani sampun seda, Bu?” kata salah satu sopir taksi itu. “Githok kula dados mrinding. Menawi pesenanipun mboten kula ladosi, mugi-mugi Pak Arwani mboten duka dhateng kula,” sahut sopir taksi satunya lagi.
“Jangan khawatir Mas. Pak Arwani itu orang baik. Saya nanti yang akan berdoa untuk meminta maaf kepada beliau,” jawab Ibu. Mereka berdua lalu pamitan. Tentu sambil ketakutan karena baru saja menerima telepon dari sesosok arwah. (JB Santoso)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Editor: admin_merapi