Riski ingat betul, kalau potongan kepala itu, dalam kondisi mata terbuka.
"Sudah, pokoknya lari saja, menjauh dari mereka," batin Riski.
Sejengkal demi sejengkal, kaki Riski menapaki tanah gunung yang semakin tidak rata.
Hujan yang tadinya gerimis, pun kini bertambah lebat.
Tidak hanya itu, guyuran hujan dan waktu yang terus beranjak surup, menurunkan suhu udara gunung.
Tapi Riski tidak peduli lagi, ia menerobos semuanya.
Dia bahkan lupa, alasan mengapa datang ke tempat itu.
Ketika pikiran itu terbersit, Riski memelankan langkahnya, berhenti tepat di bawah sebuah pohon besar.
Pohon yang akarnya menjulang keluar ke tanah.
Riski menghela nafas, pelan dan dalam, setelah pikirannya mulai tenang, ia baru sadar.
Ia sudah berlari jauh meninggalkan kawan-kawannya.***