harianmerapi.com - Setelah bertahun-tahun merantau ke luar Jawa, Parno akhirnya pulang ke kampung halamannya di Kulonprogo.
Sore itu, setelah hujan reda, ia menyusuri jalan-jalan di dusun untuk bernostalgia. Ternyata sudah banyak perubahan yang terjadi di dusunnya.
Jalan bebatuan yang dulu sering ia lewati ketika berangkat dan pulang sekolah kini telah beraspal halus. Rumah-rumah tetangga kini sudah banyak yang bagus.
Ia pun meneruskan perjalanan melewati kelokan demi kelokan. Pandangan matanya berhenti pada sebuah cakruk dari bilik bambu di pinggir selokan.
Parno mendekati cakruk itu, kemudian duduk mengamati sekeliling. Cakruk itu masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Bahkan terkesan tidak terawat. Kotor dan banyak sarang laba-laba.
Petang menjelang. Parno masih duduk melamun di cakruk itu. Tiba-tiba ia melihat anak kecil bertelanjang dada hanya mengenakan celana pendek warna hitam yang basah kuyup.
“Lho itu kan Sugi. Dari mana petang-petang begini?” gumam Parno.
"Sugi, dari mana kamu?” tanya Parno.
Sugi diam saja menatapnya datar dan hanya menunjuk ke arah selokan.
“Ealah dingin-dingin begini kamu berenang di selokan. Sendirian pula. Mana teman-temanmu?”
Sugi menggeleng kemudian berlalu meninggalkan Parno.
“Sebentar Gi, ini buat beli permen!” teriak Parno sambil merogok uang dari saku bajunya.
Namun, Sugi sudah tidak kelihatan lagi. Parno bangkit dan memilih untuk meninggalkan cakruk karena hari sudah semakin petang. Sampai di rumah, Parno bercerita pada kakaknya.
“Kang, tadi aku melihat Sugi. Bocah itu nakal juga ya petang-petang baru pulang bermain hehehe.”
“Sugi siapa?” tanya kakaknya.
“Sugi anaknya Lik Man.”
Baca Juga: Lima Ujian yang Dihadapi Hidup Orang Beriman
“Lha dia kan sudah lama meninggal, hanyut di selokan, sebulan setelah kamu merantau," kata kakaknya.
“Ah yang benar! Terus tadi siapa?” Parno terperanjat.
Parno dan kakaknya terdiam.