Mang Ace pun masuk pada gang itu—memang gang-gang di sini sambung-menyambung.
Di sepanjang gang ini tampak sepi, ada sebidang kecil tanah bertumbuhan pohon-pohon.
Kembali, Mang Ace mendengar “Tek-tek, tek-tek” Kali ini di ujung gang, punggung penjual mi tektek dan tanggungannya terlihat—tersorot lampu motor.
Berserilah wajah Mang Ace karena akhirnya dapat menemukannya.
Sejalan dengan putaran roda ban motor, semakin dekat pula posisinya dengan penjual mi tektek.
Namun, Mang Ace merasa heran karena penjual mi tektek itu seperti berjalan seraya selalu membungkuk.
Mang Ace berbaik sangka, ya mungkin karena menanggung beban yang berat.
Hingga semakin dekatlah jarak, sampai sepuluh meteran.
Klakson pun dipijit, agar penjual mi tektek berhenti.
Mang Ace tak habis pikir, mengapa penjual mi tektek itu tak hirau, memalingkan muka pun tidak, malah terus saja berjalan hendak berbelok ke kiri, hingga tak terlihat lagi.
Mang Ace menjadi mangkel. Dengan terpaksa, motor pun agak dipercepat lajunya agar bisa mengejar.
Angin malam musim kemarau kembali berembus, menerpa dedaunan di pohon nangka di pinggir gang.
Beberapanya luruh.