Tarian Beksan Lawung Ringgit kali pertama dipentaskan pada acara pembukaan Simposium Internasional Budaya Jawa, Senin (10/3).
PADA tahun 1811 setelah Inggris berhasil merebut Jawa dari tangan Belanda, di bawah Komando Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (Stamford Raffles), terjadi penjarahan atas kekayaan material dan intelektual di Kraton Yogyakarta. Raffles mengajak Raja Hamengkubuwono II untuk bekerjasama namun ditolak dan terjadilah Geger Sepehi yang berujung pada penjarahan.
Setelah 200 tahun lebih, akhirnya Tarian Beksan Lawung Ringgit kali pertama dipentaskan pada acara pembukaan Simposium Internasional Budaya Jawa, Senin (10/3) di Kasultanan Ballroom, Royal Ambarrukmo Hotel. Naskah Lawung Ringgit merupakan salah satu naskah yang dikembalikan bersama 75 naskah lainnya.
"Sebetulnya kita ini tidak pernah tahu ada Lawung Ringgit karena pada waktu naskah Kraton ini diambil Raffles pada waktu menjajah Indonesia, saya belum lahir. Kita tidak pernah tau apa saja yang diambil Raffles itu. Saya yakin 75 itu baru sebagian," tandas Raja Yogyakarta, Sri Sultan HB X saat jumpa pers usai pembukaan Simposium, Senin (10/3).
Konon, lebih dari 7000 manuskrip dijarah pada Geger Sepehi tersebut, dan hingga kini masih diperjuangkan agar dikembalikan meski dalam bentuk digital. Buku-buku yang dijarah juga sudah tersebar di banyak Museum sehingga perlu diruntut dengan cermat.
"Jadi sebetulnya tidak hanya Lawung Ringgit, tapi juga sebetulnya lain-lain kita tidak tahu. Buku-buku yang dari Kraton Jogja itu didistribusikan juga di beberapa Museum yang lain," imbuh Sultan.
Sejak penjarahan terjadi, sebetulnya Kraton Yogyakarta kehilangan sebagian tata nilai dan budaya. Maka biarpun dikembalikan dalam bentuk digital pada tahun 2019, Sultan tetap mengapresiasi hal tersebut.
Sultan berharap hal ini dapat dikaji lebih dalam. Apalagi niat Kraton Yogyakarta apa yang dikembalikan tidak hanya disimpan begitu saja, namun diaplikasikan dengan baik.
"Saya harap mereka juga tahu kalau tidak sekedar di simpan tapi diaplikasikan. Faktanya di sana hanya disimpan. Saya akan bicara dengan Museum yang lain untuk bisa mengembalikan biarpun mungkin dengan digitalisasi," harap Sultan.
Pada kesempatan tersebut, Sultan juga menceritakan bagaimana ia memenuhi undangan dan menerima digitalisasi manuskrip dari British Library. Sultan diminta datang ke Raffles Foundation pada pagi hari untuk diajak bicara namun ia menolak. Mestinya, menurutnya pihak Raffles Foundation mengundang setelah ia memenuhi undangan dari British Library.
"Saya menolak karena undangan saya untuk British Library. Kalau saya datang pagi hari, saya dirugikan dari komitmen. Tapi kalau dia mau nerima setelah saya dari British Library, itu masalah lain. Tapi maunya dia sebelum. Saya ndak mau, saya sudah bukan menjadi bagian dari penjajahan mereka kok," tutup Sultan dengan tegas. (C-4)