DILIHAT dari peninggalan dan cerita tutur, diduga batik dikenal pada zaman Tarumanagara. Pohon tarum yang banyak terdapat di Tasikmalaya diduga dimanfaatkan membuat batik. Ke luar Jawa batik juga berkembang. Sumatera Barat termasuk daerah konsumen batik sejak zaman sebelum Perang Dunia I, terutama batik-batik produksi Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta. Meski di daerah itu telah berkembang terlebih dahulu <I>tenun silungkang<P> dan <I>tenun pelekat<P>.
Pembatikan mulai berkembang di Padang setelah pendudukan Jepang, terjadi secara tak disengaja. Yakni akibat blokade Belanda, perdagangan batik menjadi lesu. Pedagang batik yang biasa ke Jawa lalu mencari cara untuk membuat batik sendiri. Ciri khas batik Padang adalah kebanyakan berwarna hitam, kuning, dan merah ungu dengan pola Banyumasan, Indramayuan, Solo dan Yogyakarta.
Sampai sekarang batik yang paling populer adalah batik Pekalongan. Hubungan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Cina, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik. Motif Jlamprang, misalnya, diilhami dari India dan Arab. Lalu batik Encim dan Klengenan, dipengaruhi peranakan Cina. Batik Belanda disebut batik VOC atau Kompeni. Batik Pagi Sore, dan batik Hokokai tumbuh pesat sejak pendudukan Jepang.
Sebagai pakaian adat yang banyak dipakai kalangan keraton, batik sudah mempunyai motif baku yang penuh filosofi. Pada dasarnya ragam batik yang bercirikan tradisional adalah pola geometrik seperti ceplokan, pola hias kawung, nitik, lereng dan parang. Sedang pola non-geometrik seperti sidaluhur, sidamukti dan semen rama. (Jbo)