Champa pada waktu itu di bawah kekuasaan Majapahit yang pada waktu itu diperintah oleh Prabhu Brawijaya. Beliau didampingi adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri, penggantinya adalah Bhre Pandhansalas.DUA tahun kemudian, yaitu pada tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri. Maka sejak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa didampingi mahapatih.
Dikisahkan pula, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan kekaisaran Tiongkok. Putri tersebut bernama Tan Eng Kian. Padahal Prabhu Brawijaya telah memiliki lebih dari seratus isteri.
Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Champa datang menghadap. Raja Champa sendiri yang dating, diiringi oleh para pembesar Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan, Dewi Anarawati. Dari sekian banyak upeti yang dibawa, Dewi Anarawati juga merupakan hadiah kepada raja untuk diperisteri.
-
Dwarapala, dipahat melalui jiwa seni tinggi.
Setelah menikah dengan Dewi Anarawati, Tan Eng Kiang kemudian dicerai dan diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya putra Prabhu Wikramawardhana (1389-1429 M) dari selir yang berdarah China. Nama China Arya Damar adalah Swan Liong, pria Tionghoa yang muslim pengikut Laksamana Cheng Ho.
Menerima pemberian seorang janda dari raja adalah suatu kehormatan besar. Namaun Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia menikahinya. Putera yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah anak lelaki dan diberi nama Tan Eng Hwat. Dia juga diberi nama muslim dengan Hassan. Di Jawa kemudian dia terkenal dengan nama Raden Patah.
Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra. Diberinama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Di Jawa, dia dikenal dengan nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung.
Pada masa itu, perekonomian Majapahit mengalami kemajuan pesat. Banyak etnis Tionghoa menjadi pelaku pasar. Kemudian muncul ketidakpuasan dari berbagai daerah. Ki Ageng Kutu (dari Wengker Ponorogo), misalnya, merupakan salah satu wilayah Majapahit yang merasa tidak puas terhadap kebijakan Prabhu Brawijaya.
Dalam sebuah pisowanan agung ketika para pejabat daerah mengirimkan upeti, Ki Ageng Kutu menampilkan pagelaran seni yang disebut Reog Ponorogo. Tarian itu ternyata merupakan sindiran kepada sang raja. (dari berbagai sumber)-(JB Santoso)