Pak Rendi mengusap wajahnya berkali – kali, lalu berucap istighfar berkali – kali.
“Dulu dia siswi sekolah ini, pak. Dia siswi yang pintar, berprestasi dan banyak menjuarai berbagai lomba olahraga.
Namun, nasib sial telah merenggut nyawanya” jelas Mbah Mo.
Pak Rendi mulai menata ritme pernapasan, kemudian menatap Mbah Mo.
“Mengapa dia bisa meninggal, pak..?” tanya Pak Rendi.
Sebelum menjawab Mbah Mo menghela napas berkali – kali, lalu berkata “Dibunuh bapak tirinya” jawab Mbah Mo
“Innalillahi wainnailaihi rajiun….” ucap Pak Rendi.
Mbah Mo menitikkan air mata, “Dia anak baik, periang, pintar dan suka membantu gurunya atau murid yang lain. Tapi, mengapa dia harus bertemu dengan Bahar, ayah tirinya yang sangat kejam dan bengis” geram Mbah Mo.
Kedua tangan Mbah Mo mengepal, napasnya memburu tidak teratur.
Baca Juga: Kenalkan ke Masyarakat, Pasar UMKM Sumberagung Sleman Gelar Senam Massal
“Bahar memintanya untuk meminum racun tikus…” Ujar Mbah Mo yang diakhiri dengan tangisan.
“Asih… Asih… malang sekali nasibmu, nak” kata Mbah Mo disela – sela isakannya Mbah Mo menarik napas dalam – dalam agar lebih tenang dalam berkata, “Pak Rendi harus tahu, mengapa di sekolah ini semua guru perempuan.
Karena jika ada guru laki – laki yang datang, Asih sering menunjukkan ketidaksukaanya seperti tadi, pak” jelas Mbah Mo.
“Saya hanya berharap dia tenang dan Bahagia di sana, pak. Lahumul Fatihah untukmu Ananda Lestari Asih” ucap Pak Rendi sambil menundukkan kepala. - Semua nama samaran - Habis (Seperti dikisahkan Fitriati Arina Manasikana di Koran Merapi). *