Aku segera menoleh ke arah lima penumpang lama dan ternyata kondisi mereka pun sama mengenaskannya, ada yang kehilangan anggota badan dan ada juga yang kepalanya remuk.
Kantukku lenyap seketika, jantungku berdetak keras sambil mencoba menerka apa yang sebenarnya sedang terjadi. Secepat kilat aku mengambil tasku dan berlari keluar dari kereta sebelum pintu kereta kembali tertutup.
Tak lama setelah aku menginjakkan kaki di peron, pintu-pintu gerbong kembali tertutup dan kereta kembali berjalan. Aku menoleh ke arah kereta dan memperhatikannya menghilang di balik kegelapan malam.
Hanya saja sekarang aku menyadari kalau aku sedang berdiri di peron yang gelap, di stasiun yang kelihatannya sudah tidak digunakan lagi.
"Mbak," sebuah suara dari balik kegelapan kembali membuat jantungku melompat. Aku menoleh dan melihat seorang bapak tua berseragam berjalan mendekat.
"Mbak naik kereta yang tadi, ya?"
Baca Juga: Hardjuno Minta Mahfud Hati-hati Umumkan Nilai Sitaan Aset BLBI
"Iya, Pak. Ini dimana, ya?" tanyaku masih bingung dan tapi agak lega.
"Stasiun Pondok Betung, Mbak. Ayo, ikut saya. Saya tugas jaga portal di sana," Bapak itu menunjuk sebuah portal di kejauhan.
Aku mengangguk dan berjalan mengikuti si Bapak menyusuri sisi rel kereta.
"Pak, kereta yang saya naiki tadi kok agak aneh, ya?" tanyaku kemudian dengan penasaran.
Si Bapak terkekeh, "Itu memang bukan kereta untuk manusia yang masih hidup, Mbak," jawabnya. "Setiap tanggal dan bulan segini biasanya kereta itu lewat untuk menjemput roh-roh yang ketinggalan."
"Roh?" Aku menatap si Bapak dengan terkejut.
"Mbak pernah dengar tentang tragedi Bintaro, kan?" tanya si Bapak lagi.