HARIAN MERAPI - Sebanyak 9 karyawan swasta menggugat Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Diketahui, mereka menilai aturan pajak atas pesangon dan uang pensiun tidak adil karena memberatkan pekerja yang sudah tidak lagi produktif.
Gugatan itu terdaftar di MK pada Jumat, 10 Oktober 2025, dengan nomor perkara 186/PUU-XXIII/2025.
Baca Juga: Cerita di Taman: Solusi Kesehatan Mental untuk Kaum Perkotaan
Para pemohon berasal dari Forum Pekerja Bank Swasta yang terdiri atas Jamson Frans Gultom, Agus Suwargi, Budiman Setyo Wibowo, Wahyuni Indrjanti, Jamil Sobir, Lyan Widiya, Muhammad Anwar, Cahya Kurniawan, dan Aldha Reza Rizkiansyah.
Dalam aduannya, mereka menggugat Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 17 UU HPP. Pasal 4 ayat 1 menetapkan seluruh tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak, termasuk pesangon dan pensiun. Sedangkan Pasal 17 menerapkan tarif progresif atas penghasilan tersebut.
“Pemohon adalah para karyawan bank swasta yang sedang bekerja atau sudah memasuki masa pensiun sehingga secara langsung dan nyata mengalami kerugian konstitusional,” demikian tertulis dalam berkas permohonan yang dilansir dari laman resmi MK pada Senin, 13 Oktober 2025.
Lantas, apa saja poin-poin kritis dalam gugatan UU HPP ke MK? Berikut ini sederet fakta di antaranya:
Baca Juga: Melalui One Fine Day, IFG Ajak Masyarakat Hidup Sehat dan Cerdas Finansial
Tabungan Hidup yang Dipajaki
Para pemohon menilai uang pesangon dan pensiun tidak bisa disamakan dengan penghasilan baru.
Bagi mereka, dana itu merupakan hak normatif dan bentuk penghargaan terakhir setelah bertahun-tahun bekerja.
Menurut para pemohon, pajak atas pesangon dan pensiun sama saja dengan memajaki kembali hasil kerja yang sudah dikenakan pajak saat mereka masih aktif bekerja.