"Kebijakan ini harus meliputi label depan kemasan berbasis bukti, pembatasan pemasaran produk tidak sehat, serta lingkungan pangan sehat di sekolah," ujar Nida.
Senada dengan itu, Peneliti dari Universitas Internasional Batam (UIB) Rahmi Ayunda menyebut keberadaan ruang digital yang sangat ramai menjadikan promosi dan iklan ultra-processed food menjadi begitu dekat dengan masyarakat.
Ia mengungkapkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2024 mencatat 221,6 juta pengguna internet (sekitar 79,5 persen populasi), dan 9,2 persen di antaranya anak di bawah 12 tahun.
"Artinya, jutaan anak menghabiskan waktu di jalan raya informasi, di mana promosi menyatu dengan hiburan. Iklan tak selalu tampil sebagai iklan; bisa berupa tantangan lucu, ulasan jujur, atau karakter favorit yang menyarankan camilan manis. Di sinilah aspek hukum menjadi krusial, anak belum memiliki kapasitas kognitif untuk membedakan mana hiburan dan mana ajakan membeli, sehingga mereka berhak atas proteksi khusus dari praktik promosi yang mengecoh," tutur Rahmi Ayunda. *