HARIAN MERAPI - Kasus penangkapan Immanuel Ebenezer atau Noel, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, dinilai menjadi alarm bahaya bagi Presiden Prabowo Subianto dalam agenda pemberantasan korupsi dan implementasi program-program strategis pemerintah.
Menurut Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina, momentum ini hadir di tengah komitmen Presiden yang selalu menegaskan perang terhadap korupsi di berbagai kesempatan.
“Dalam pidatonya, Presiden kembali menegaskan komitmen memberantas korupsi, bahkan mengancam seluruh jajarannya agar menjauhi perilaku koruptif. Ia sendiri berjanji akan memimpin upaya mengejar koruptor hingga ke Antartika,” tegas Wijayanto dalam keterangannya di Jakarta, Senin (25/8).
Baca Juga: Usai Jadi Tersangka KPK, Immanuel Ebenezer Dicopot Prabowo dari Jabatan Wamenaker
Namun, kasus Noel justru menunjukkan betapa sulitnya memberantas korupsi. Wijayanto menegaskan bahwa Noel yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat malah justru memeras mereka dengan menaikkan tarif sertifikat K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dari Rp275.000 menjadi Rp6 juta per sertifikat.
Alih-alih memperbaiki birokrasi, Noel justru meneruskan praktik lama bahkan meminta bagian dari aliran dana korupsi.
“Lebih ironis lagi, praktik tersebut melibatkan ASN hingga pejabat eselon II, dan dilakukan sejak bulan pertama ia menjabat,” ujar Wijayanto.
Baca Juga: Kevin Diks Jalani Debut di Liga Jerman Bersama Borussia Monchengladbach
Ia menambahkan, banyak pihak meyakini posisi Wakil Menteri hanya dijadikan batu loncatan untuk melakukan korupsi.
Situasi ini, lanjutnya, tidak berdiri sendiri. Pada saat bersamaan, Kementerian Agama juga tengah diperiksa KPK terkait kuota haji, sementara Kementerian Komunikasi dan Digital ditelisik terkait kasus perlindungan judi online.
"Korupsi telah mengakar, hingga muncul kesan bahwa pemerintah kita telah menjelma menjadi 'Pemerintahan Wani Piro': values (nilai-nilai) dibuang, digantikan value (nilai uang). Segalanya serba pragmatis dan transaksional," jelasnya.
Baca Juga: Tampang Empat Aktor Utama Penculikan dan Pembunuhan Kacab Bank di Jakarta
Wijayanto menilai kondisi ini sangat berisiko bagi Presiden Prabowo, mengingat gaya kepemimpinannya yang identik dengan program masif, berbiaya tinggi, dan berdampak luas dalam waktu singkat. Ia mencontohkan program Makan Bergizi Gratis senilai Rp335 triliun per tahun, Program Kopdes Merah Putih, hingga target pembangunan 3 Juta Rumah.
“Bagaimana jika terjadi korupsi sistemik? Bagaimana jika masyarakat gagal membayar cicilan KPR bersubsidi? Yakinkah perbankan kita siap menghadapi tsunami kredit macet?” ungkapnya penuh tanda tanya.
Risiko tersebut, menurutnya, tidak serta merta muncul tahun ini, melainkan mungkin baru terasa pada 2027 atau 2028—saat kondisi ekonomi bisa jadi belum lebih baik dan Indonesia memasuki tahun politik.